ABC NEWS – Khalid bin Walid adalah salah satu sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang paling terkenal dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Ia lahir di Mekah pada 592 Masehi dan berasal dari suku Quraisy.
Ayah Khalid adalah al-Walid bin al-Mughirah, seorang penengah perselisihan lokal di Makkah di Hijaz (Arabia barat). Al-Walid diidentifikasi oleh sejarawan Ibnu Hisyam (wafat 833), Ibnu Duraid (wafat 837) dan Ibnu Habib (wafat 859) sebagai “pencemooh” Rasulullah Muhammad SAW yang disinggung dalam surat-surat Alquran yang turun ketika di Makkah.
Dia berasal dari Bani Makhzum, klan terkemuka dari suku Quraisy dan aristokrasi Makkah pra-Islam. Bani Makhzum dianggap berjasa dalam memperkenalkan perdagangan Makkah ke pasar-pasar asing, khususnya Yaman dan Abyssinia (Ethiopia).
Kemasyhuran mereka merupakan berkat kepemimpinan kakeknya Khalid dari pihak ayahnya, yakni al-Mughirah bin Abdullah. Paman Khalid dari pihak ayahnya, yaitu Hisyam, dikenal sebagai ‘penguasa Makkah’ dan tanggal kematiannya digunakan oleh kaum Quraisy sebagai awal dari kalender mereka.
Sejarawan Muhammad Abdulhayy Shaban mendeskripsikan Khalid sebagai ‘seorang pria yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi’ di dalam klannya dan Makkah secara umum.
Ibu Khalid adalah al-Ashma’ binti al-Harits bin Hazn, yang umumnya dikenal sebagai Lubabah as-Sughra (‘Lubaba si kecil’, untuk membedakannya dari kakak seayahnya, Lubabah al-Kubra) dari suku nomaden Bani Hilal.
Lubabah al-Sughra masuk Islam sekitar 622 M dan saudari tirinya dari pihak ayahnya, Maimunah binti al-Harits, menjadi istri dari Rasulullah Muhammad SAW. Melalui hubungan dari pihak ibunya, Khalid menjadi sangat akrab dengan gaya hidup suku Badui (Arab nomaden).
Kaum Makhzum sangat menentang Rasulullah Muhammad SAW, dan pemimpin utama klan ini, Amr bin Hisyam (Abu Jahl), yang merupakan sepupunya Khalid, mengorganisasi aksi boikot terhadap klan Rasulullah Muhammad SAW., Bani Hasyim dari suku Quraisy, pada sekitar 616–618.
Setelah Rasulullah Muhammad SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah pada 622, kaum Makhzum di bawah Abu Jahl memimpin perang melawannya sampai mereka dikalahkan di Pertempuran Badar pada 624.
Sekitar dua puluh lima sepupu ayah Khalid, termasuk Abu Jahl, dan banyak sanak saudara lainnya terbunuh dalam pertempuran itu.
Tahun berikutnya, Khalid memimpin sayap kanan kavaleri dari pasukan Makkah yang berhadapan dengan Rasulullah Muhammad SAW pada Pertempuran Uhud di utara Madinah.
Menurut sejarawan Donald Routledge Hill, alih-alih melancarkan serangan frontal terhadap barisan Muslim di lereng Gunung Uhud, ‘Khalid mengadopsi taktik yang cerdas’ dengan mengelilingi gunung dan melewati bagian samping pasukan Muslim.
Ia maju melalui lembah Wadi Qanat di sebelah barat Uhud sampai akhirnya dicegat oleh pemanah-pemanah Muslim di selatan lembah di Gunung Ruma.
Pasukan Muslim memperoleh keunggulan awal dalam pertarungan, tetapi setelah sebagian besar pemanah Muslim meninggalkan posisi mereka untuk bergabung dengan penyerbuan ke perkemahan Makkah,
Khalid menyerbu ke dalam celah yang timbul di garis pertahanan belakang pasukan Muslim. Dalam pertempuran berikutnya, beberapa lusin pasukan Muslim terbunuh.
Narasi-narasi dari pertempuran tersebut mendeskripsikan Khalid mengendarai kuda menembus medan pertempuran, menghabisi para pasukan Muslim dengan tombaknya.
Shaban memuji ‘kejeniusan militer’ Khalid sebagai alasan kemenangan suku Quraisy di Uhud, satu-satunya pertempuran di mana suku tersebut mengalahkan Rasulullah Muhammad SAW.
Pada 628, Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikutnya menuju Makkah untuk melakukan umrah (peziarahan kecil ke Makkah) dan suku Quraisy mengirimkan 200 kavaleri untuk mencegatnya setelah mendengar keberangkatannya.
Khalid adalah pimpinan kavaleri tersebut dan Rasulullah Muhammad SAW menghindari menghadapinya dengan mengambil rute alternatif yang tidak konvensional dan sulit untuk dilalui, yang tertuju ke Hudaibiyah di tepi Makkah.
Setelah menyadari perubahan arah Rasulullah Muhammad SAW, Khalid mundur ke Makkah. Sebuah gencatan senjata antara Muslim dan suku Quraisy dicapai dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Pada 6 H (sekitar tahun 627) atau 8 H (sekitar tahun 629), Khalid memeluk Islam di hadapan Rasulullah Muhammad SAW bersama dengan Amr bin al-As dari suku Quraisy.
Sejarawan modern Michael Lecker berkomentar bahwa kisah-kisah yang menyatakan bahwa Khalid dan Amr masuk Islam pada tahun 8 H “mungkin lebih dapat dipercaya”.
Sejarawan Akram Diya Umari menyatakan bahwa Khalid dan Amr memeluk Islam dan pindah ke Madinah setelah Perjanjian Hudaibiyyah, tampaknya setelah kaum Quraisy membatalkan tuntutan ekstradisi orang-orang yang baru mualaf ke Makkah.
Setelah ia menjadi mualaf, Khalid “mulai mengabdikan semua kegiatan militernya yang cukup besar untuk menyokong negara Muslim yang baru”, demikian menurut sejarawan Hugh N. Kennedy.
Setelah ia masuk Islam, Khalid diangkat menjadi komandan oleh Rasulullah Muhammad SAW,, yang memberikan gelar Saifullah (‘Pedang Allah’) kepadanya.
Khalid mengoordinasi penarikan pasukan Muslim secara aman selama ekspedisi yang gagal ke Mu’ta melawan sekutu Arab dari Bizantium pada 629 dan memimpin kontingen Badui dari tentara Muslim selama perebutan Makkah dan Pertempuran Hunain pada sekitar 630.
Dalam sejarah Islam, pertempuran Mu’tah menjadi salah satu perang yang terkenal. Pertempuran ini terjadi pada bulan Jumadil Awal 8 Hijriyah atau 629 Masehi.
Pertempuran Mu’tah terjadi di sebuah perkampungan bernama Mu’tah. Lokasi Mu’tah berada di wilayah sebelum memasuki Syam. Perjalanan dari Mu’tah menuju ke Baitul Maqdis ditempuh selama dua hari bila berjalan kaki.
Dalam pertempuran menegakkan keadilan dan syiar Islam itu, umat Islam berhasil membungkam kepongahan pasukan Romawi yang kekuatannya berpuluh kali lipat.
Perang Mu’tah juga menjadi pengubah konfigurasi pengaruh politik di Jazirah Arab kala itu. Perang dahsyat ini memengaruhi perjalanan Islam di masa-masa selanjutnya.
Dalam perang ini, umat Islam kehilangan banyak sosok terkenal, termasuk tiga panglima perangnya. Namun, di lain sisi, perang ini juga melahirkan satu pahlawan baru, Khalid bin Walid.
Dalam perang ini pula, Rasulullah Muhammad SAW memberikan gelar ‘Pedang Allah’ kepada Khalid bin Walid.
Khalid dan pasukan Islam, atas izin Allah, melakukan manuver menakjubkan yang memengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan kafir kemudian terguncang hatinya dan akhirnya membuat pasukan Islam, secara umum, memenangi pertempuran yang berlangsung berhari-hari ini.
Menukil buku Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya tulisan Ustaz Imam Mubarok Bin Ali, Khalid bin Walid wafat di Hims pada 21 Hijriah. Diriwayatkan dari Abu az-Zinad, ketika ajal hendak menjemputnya ia menangis sambil berkata,
“Aku telah mengikuti perang ini dan itu dengan gagah berani, hingga tidak ada sejengkal bagian pun di tubuhku, kecuali ada bekas sabetan pedang atau tusukan anak panah. Namun, mengapa aku mati di atas kasurku, tanpa bisa berbuat apa-apa, seperti halnya seekor keledai? Mata para pengecut tidak bisa terpejam,”
Dikisahkan dalam buku Khalid bin Walid: Panglima Perang Termasyhur tulisan Indah Julianti, meski Khalid bin Walid dikenal sebagai panglima perang Islam tersohor, ia meninggal akibat sakit yang dideritanya. Pada awal 18 Hijriah, wabah epidemik menyebar di Syria dan menyerang para penduduk, termasuk Khalid.
Bahkan, anak-anak Khalid bin Walid ikut terkena wabah tersebut dan menyisakan tiga orang putra, yaitu Sulaiman, Muhajir dan Abdurrahman. Khalid menghembuskan napas terakhir di kediamannya.
(Red/ berbagai sumber)