ABC NEWS – Kewenangan jaksa yang berlebih atas nama asas dominus litis tidak dilegalisasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal itu ditegaskan oleh pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) Haidar Alwi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (12/2).
Dominus litis bisa diartikan sebagai asas universal yang melekat pada jaksa atau bisa juga disebut pengendali perkara yang dimiliki kejaksaan dalam penanganan perkara pidana.
Haidar berkata, “Kewenangan berlebih jaksa bisa mengabaikan pemeriksaan dan keseimbangan (checks and balances), menimbulkan ketidakpastian hukum, menyebabkan kegaduhan, dan carut-marut penegakan hukum.”
Dia pun bilang, “Ini juga tidak sesuai dengan misi Astacita Presiden Prabowo Subianto mengenai transformasi hukum.”
Haidar lalu mencontohkan kasus pagar laut di Tangerang dan kasus korupsi PT Timah Tbk adalah dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa.
Penjelasan dia, kasus pagar laut di Tangerang setidaknya ditangani oleh tiga lembaga penegak hukum, mulai dari Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kejaksaan.
Polri mengusut dugaan pidana umumnya, sedangkan KPK dan kejaksaan sama-sama mengusut dugaan pidana korupsinya.
Haidar berkomentar, “Antara KPK dan kejaksaan, dua lembaga penegak hukum, yang menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum.”
Haidar kemudian menerangkan, untuk menghindari hal tersebut, KUHAP yang berlaku saat ini mengatur pemisahan fungsi kewenangan lembaga penegak hukum.
Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim sebagai pengadil.
Sedangkan KPK sebagai lembaga ad hoc yang diberi tugas khusus dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan gabungan fungsi penyidikan sekaligus penuntutan.
Kata Haidar, “Kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut.”
Dia melanjutkan, “Padahal, tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini jaksa terkesan lebih KPK daripada KPK, hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum.”
Adanya ketidakpastian hukum akibat kewenangan berlebih jaksa, lanjut Haidar, tercermin pula dari kasus PT Timah.
Ironi, kehebohan kasus PT Timah sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia bertolak belakang dengan vonis hakim.
Kondisi tersebut, terang Haidar, berdampak terhadap merugikan pelaku dan keluarga, karena telanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar.
“Tapi juga merugikan hakim karena dinilai sebagai pihak yang prokoruptor. Padahal itu terjadi karena kegagalan jaksa membuktikan tuntutan dan dakwaannya di pengadilan.”
(Red)