Sabtu, 31 Mei 2025
ABC News
No Result
View All Result
  • Login
  • HOME
  • NEWS
    Pantauan Indef, Lebih dari 90 Persen Warganet di Sosial Media Khawatir Terjadi PHK Massal

    Waspada Gelombang PHK Massal, Hanya Empat Bulan Sudah Ada 70 Ribu Orang Jadi Pengangguran Baru

    BPK Temukan Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 1,13 Triliun di Penyaluran Kredit LPEI

    BPK Temukan Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 1,13 Triliun di Penyaluran Kredit LPEI

    Kejagung Terus Usut Kasus Korupsi Laptop Rp 9,9 Triliun Era Menteri Nadiem Makarim,

    Kejagung Terus Usut Kasus Korupsi Laptop Rp 9,9 Triliun Era Menteri Nadiem Makarim,

    Kasus Korupsi Akuisisi Perusahaan Swasta, Direktur Keuangan ASDP Dipanggil KPK

    Kasus Korupsi Akuisisi Perusahaan Swasta, Direktur Keuangan ASDP Dipanggil KPK

    Tahun Depan Alokasi Anggaran Kesehatan Dipatok Kementerian Keuangan Maksimal Rp 228 Triliun

    Tahun Depan Alokasi Anggaran Kesehatan Dipatok Kementerian Keuangan Maksimal Rp 228 Triliun

    Sebanyak Empat Penjual Gading Gajah Ilegal Ditangkap Bareskrim Mabes Polri

    Sebanyak Empat Penjual Gading Gajah Ilegal Ditangkap Bareskrim Mabes Polri

    Trending Tags

    • Commentary
    • Featured
    • Event
    • Editorial
  • ECONOMY
  • ENERGY
  • HOME
  • NEWS
    Pantauan Indef, Lebih dari 90 Persen Warganet di Sosial Media Khawatir Terjadi PHK Massal

    Waspada Gelombang PHK Massal, Hanya Empat Bulan Sudah Ada 70 Ribu Orang Jadi Pengangguran Baru

    BPK Temukan Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 1,13 Triliun di Penyaluran Kredit LPEI

    BPK Temukan Potensi Kerugian Negara Hingga Rp 1,13 Triliun di Penyaluran Kredit LPEI

    Kejagung Terus Usut Kasus Korupsi Laptop Rp 9,9 Triliun Era Menteri Nadiem Makarim,

    Kejagung Terus Usut Kasus Korupsi Laptop Rp 9,9 Triliun Era Menteri Nadiem Makarim,

    Kasus Korupsi Akuisisi Perusahaan Swasta, Direktur Keuangan ASDP Dipanggil KPK

    Kasus Korupsi Akuisisi Perusahaan Swasta, Direktur Keuangan ASDP Dipanggil KPK

    Tahun Depan Alokasi Anggaran Kesehatan Dipatok Kementerian Keuangan Maksimal Rp 228 Triliun

    Tahun Depan Alokasi Anggaran Kesehatan Dipatok Kementerian Keuangan Maksimal Rp 228 Triliun

    Sebanyak Empat Penjual Gading Gajah Ilegal Ditangkap Bareskrim Mabes Polri

    Sebanyak Empat Penjual Gading Gajah Ilegal Ditangkap Bareskrim Mabes Polri

    Trending Tags

    • Commentary
    • Featured
    • Event
    • Editorial
  • ECONOMY
  • ENERGY
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result
Home VARIETY

Saat Penguasa Pongah Mengubah ‘Rechtsstaat’ Menjadi ‘Machtstaat’

Abcnews by Abcnews
19 Februari 2025
in VARIETY
0
Saat Penguasa Pongah Mengubah ‘Rechtsstaat’ Menjadi ‘Machtstaat’

Ikustrasi. | Foto: Istimewa.

Share on WhatsappShare on FacebookShare on X

ABC NEWS – Ketika negara sedang menunjukkan kekuasaannya dan mengabaikan norma hukum yang berlaku. Intimidasi, kepongahan, dan segala cara dilakukan demi melanggengkan kekuasaan. Maka, negara dan penguasa tersebut sebenarnya sedang tidak menunjukkan kekuatannya.

Sebaliknya, hal itu sebenarnya menunjukkan kelemahan negara dan sang penguasa. Kondisi itu memperlihatkan secara kasat mata bahwa kekuasaan itu sedang dalam keadaan limbung dan mengalami sakit yang serius.

READ ALSO

Penampakan Terbaru Lisa Mariana, Perempuan yang Mengaku Punya Anak dari Ridwan Kamil

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, Artis Senior Titiek Puspa Meninggal Dunia

Hampir diseluruh belahan dunia saat ini sebuah negara bercita-cita mengedepankan hukum sebagai panglimanya. Konsep negara hukum pertama kali dilontarkan oleh Plato, lalu pemikiran tersebut kemudian dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Plato, sebuah konsep penyelenggaraan negara yang baik didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik, atau biasa disebut nomoi—undang-undang biasa.

Ilustrasi Plato. Foto: Istimewa.

Perkembangannya, seorang guru besar asal Jerman bernama Heinrich Rudolf Hermann Friedrich von Gneist (13 Agustus 1816 – 22 Juli 1895), dalam bukunya yang berjudul Das Englische Verwaltungsrecht (1857) menggunakan istilah rechtsstaat untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris.

Heinrich Rudolf Hermann Friedrich von Gneist. | Foto: Istimewa.

Rudolf von Gneist secara detail membahas rechtsstaat dalam bukunya yang berjudul Der Rechtsstaat. Berkenaan dengan ini Willem van der Vlugt, guru besar di Leiden dalam disertasinya yang berjudul De Rechtsstaat Volgens de Leer van Rudolf von Gneist menyatakan pendapatnya bahwa kepada Gneist-lah seharusnya diberi penghormatan yang tadinya dengan kurang tepat diberikan kepada Montesquieu.

***

Sebelumnya, seorang cendekiawan hukum tata negara berkebangsaan Inggris, Albert Venn Dicey (4 Februari 1835 – 7 April 1922), menamakan istilah negara hukum dengan nama rule of law. Secara prinsip, rechtsstaat atau rule of law bertujuan membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya.

Albert Venn Dicey. | Foto: Istimewa.

Ironi, doktrin rechtsstaat atau rule of law hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi yang hadir hanyalah paham totaliter, fasis, absolut dan represif. Namun, banyak atas nama demokrasi, para penguasa menjalankan kekuasaan secara Machiavellianism, dan mengkhianati sistem demokrasi yang berlaku.

Ilustrasi Niccolo Machiavelli. | Foto: Istimewa.

Para penguasa itu menjadikan politik sebagai panglima, dan hukum dijalankan sebagai alat mempertahankan kekuasasaan yang tidak sejalan dengan penguasa. Kondisi seperti ini kemudian dinamakan sebagai negara kekuasaan atau machtsstaat.

Zahermann Armandz Muabezi dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017 : 421-446 berjudul Negara Berdasarkan Hukum (Rechtsstaats) Bukan Kekuasaan (Machtstaat) menulis, doktrin negara hukum dan demokrasi sama-sama merupakan atribut negara modern dari sebuah sistem politik yang dibangun lebih dari dua abad yang lalu.

Transformasi transisi demokrasi, tulis Zahermann, memastikan bahwa kekuasaan otoriter menjadi demokrasi berdasar supremasi hukum menyiratkan bahwa keduanya dapat dicapai secara bersamaan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang diberi peran masing-masing dan kesempatan secara bersama sesuai kesepakatan yang telah disetujui di awal.

Zahermann mengkritisi dua permasalahan utama, yaitu mengapa negara harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtsstaat) dan bagaimana pula hubungannya antara negara hukum dan demokrasi?

Penjelasan Zahermann, negara hukum rechtsstaat dan the rule of law merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Perlu diketahui, latar belakang timbulnya pemikiran negara hukum itu merupakan reaksi terhadap kesewenangan-wenangan di masa lampau.

***

Ide negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme. Secara embrionik, gagasan negara hukum bermula dari Plato, ketika mengintroduksi konsep nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya.

Gagasan Plato ini didukung oleh Aristoteles dalam bukunya Politica. Pengertian negara hukum menurut Aristoteles dikaitkan dengan arti dan perumusan yang masih melekat kepada ‘Polis’. Dalam polis segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah (ecclesia), di mana seluruh warga negaranya ikut serta ambil bagian dalam urusan penyelenggaraan negara.

Patung Aristoteles. | Foto: Istimewa.

Di satu sisi, meskipun konsep negara hukum menganut konsep universal, namun pada tataran implementasinya ternyata dipengaruhi oleh karakteristik negara dan manusianya yang beragam.

Filsafat hukum membagi aliran negara hukum terdiri dari tiga aliran utama. Pertama, aliran Eropa Kontinental. Kedua, aliran Anglo Saxon, Ketiga, Komisi Juris Internasional. Ketiga aliran ini pada intinya menegaskan bahwa setiap negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam membuat keputusan yang dibuatnya.

Melansir buku Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam (2012) tulisan Muhammad Tahir Azhar ada tujuh ciri-ciri negara hukum. Sebut saja pembagian kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia, pelaksanaan pemerintahan berdasarkan undang-undang (due process of law), supremasi hukum (supremacy of law), kekuasaan peradilan yang independen, peradilan tata usaha negara, dan pemerintahan yang demokratis.

Ketujuh ciri tersebut pada intinya memuat pembatasan kekuasaan serta penghormatan atas hak warga negara. Pembagian kekuasaan dalam konsep negara hukum sangat penting dilakukan. Tujuannya, agar kekuasaan tidak hanya terkonsentrasi pada satu organ, dan seluruh organ negara dapat bekerja sama untuk menciptakan keadilan serta kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Filsafat hukum membagi aliran negara hukum terdiri dari tiga aliran utama. Pertama, aliran Eropa Kontinental. Kedua, aliran Anglo Saxon, Ketiga, Komisi Juris Internasional. Ketiga aliran ini pada intinya menegaskan bahwa setiap negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam membuat keputusan yang dibuatnya.

***

Sudah sejak awal republik ini berdiri, Sukarno menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Oleh karena itu, hukum menjadi salah satu pilar penting bagi negara ini, dan prinsip ini pada umumnya disepakati oleh presiden, siapa pun di negeri ini.

Ubedillah Badrun, analis sosial politik, dalam tulisannya berjudul Indonesia Machtstaat! di sebuah media daring menulis, sejarah mencatat bahwa sehari setelah Indonesia merdeka, ketika Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) bermusyawarah pada 18 Agustus 1945, mereka sepakat mencantumkan soal bagaimana negara Indonesia dikelola khususnya dalam bagian penjelasan di sistem pemerintahan negara.

Ubedillah Badrun. | Foto: Istimewa.

Berdasarkan bagian penjelasan tersebut pada point (1) dinyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat). Juga dijelaskan secara gamblang bahwa pemerintahan Indonesia itu berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tahun 2002 juga disebutkan dalam batang tubuh pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi; Negara Indonesia adalah negara hukum.

Sebelumnya, tulis Ubedillah, ada ayat dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itu semua menunjukan pentingnya pemimpin yang demokratis karena kedaulatan ada di tangan rakyat (demokrasi) dan taat pada hukum yang telah disepakati bersama (rechtstaat).

Hal itu menggambarkan spirit awal yang jelas bagaimana republik Indonesia berdiri dan seharusnya dijalankan. Sejak awal Indonesia merdeka melalui perdebatan intelektual yang mencerahkan di BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) maupun di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para pendiri bangsa pada 18 Agustus 1945 akhirnya sepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik.

Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Penjelasan Ubedillah, konsep negara republik dipilih karena secara sadar para pendiri bangsa menginginkan Indonesia menjadi negara modern yang dikelola dengan cara-cara modern, mendengarkan aspirasi rakyat banyak termasuk cara-cara memilih pemimpinnya yang tidak dilakukan secara turun menurun (monarki) tetapi melalui musyawarah dan mendengarkan aspirasi rakyat.

“Itulah spirit Republikanisme, spirit mentaati konstitusi (rechtstaat), spirit menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, spirit pembatasan kekuasaan, spirit demokrasi deliberatif (Johm Milton, Aeropagitica, 1644),” tulis Ubedillah.

Dia menambahkan, dengan merujuk pada awal pembentukan negara dan perspektif republikanisme, bisa disimpulkan bahwa Indonesia saat ini sesungguhnya memasuki episode machtstaat (negara kekuasaan) yang sangat membahayakan masa depan Indonesia sebagai republik.

Pertanyaannya, kok bisa Indonesia menjadi machtstaat atau negara kekuasaan? Secara empirik para ilmuwan dan akademisi ilmu sosial politik dan hukum yang masih independen dalam keilmuanya pada umumnya memberikan kesimpulan yang sama bahwa Indonesia pernah menjadi machstaat dan kini memasuki episode machtstaat yang paling membahayakan masa depan Indonesia sebagai negara republik.

Ubedillah mengungkapkan, ada tiga episode Indonesia menjadi machtstaat. Pertama, episode machtstaat era Sukarno. Kedua, episode machstaat era Soeharto. Ketiga, episode machtstaat era Joko Widodo (Jokowi).

Pada era Sukarno terjadi sekitar tujuh tahun di akhir kekuasaanya dari 1959 hingga 1966. Di era ini, negara kekuasaan (machtstaat) sangat terlihat sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, kemudian Sukarno membubarkan parlemen hasil pemilu dan mengangkat anggota DPR-GR (1960), membubarkan Partai Masyumi dan PSI (1960), menerima diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS (1963), membubarkan Partai Murba (1965) dan seterusnya hingga kekuasaanya jatuh pada 1967.

Sukarno. | Foto: Istimewa.

Pada era Soeharto, machtstaat terjadi secara sistemik sejak dikeluarkanya lima paket undang-undang politik pada 1985. Sejak keluarnya paket undang-undang politik itulah kekuasaan Soeharto semakin kuat mengendalikan seluruh kekuatan politik (DPR/MPR, partai, ormas, dll), dan dipenghujung kekuasaanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin subur hingga jatuh pada 1998.

Soeharto. | Foto: Istimewa.

Pada era Jokowi, ungkap Ubedillah, machtstaat terjadi sejak 2019 ketika presiden bersama DPR tidak mau mendengarkan aspirasi ratusan ribu rakyat, mahasiswa, akademisi, para aktivis, buruh dan lainnya yang menolak revisi UU KPK hingga disahkan pada 17 September 2019.

Negara kekuasaan juga terlihat ketika Jokowi mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU ini membuat presiden memiliki kewenangan yang absolut karena sepanjang tiga tahun (2020-2022) presiden dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar peraturan presiden (perpres).

Joko Widodo. | Foto: Istimewa.

Versi Ubedillah, mengapa episode machtstaat era Jokowi ini paling membahayakan masa depan republik? Jawabannya rezim Jokowi saat berkuasa tidak hanya mengendalikan lembaga legislatif hingga hilang checks and balances-nya tetapi juga mengendalikan lembaga yudikatif.

Lebih berbahayanya, negara kekuasaan yang bersekongkol dengan oligarki telah menyusup dan merusak ke dalam lebih dari 80 UU hanya dalam waktu tiga tahun kekuasaanya di periode kedua Jokowi.

Pada akhirnya negara hukum (rechstaat) yang demokratis yang merupakan spirit utama negara republik yang dicita-citakan para pendiiri bangsa ini kini secara sistemik telah dirampas oleh machtstaat yang dijalankan oleh segelintir penguasa elite di negeri ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah publik saat ini masih menilai bahwa republik ini menganut sistem rechtsstaats atau memang telah menjelma menjadi machtsstaat? Kita sebagai bagian dari rakyat Indonesia sendiri yang bisa menilainya.

(Red)

Related Posts

Penampakan Terbaru Lisa Mariana, Perempuan yang Mengaku Punya Anak dari Ridwan Kamil
VARIETY

Penampakan Terbaru Lisa Mariana, Perempuan yang Mengaku Punya Anak dari Ridwan Kamil

11 April 2025
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, Artis Senior Titiek Puspa Meninggal Dunia
VARIETY

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, Artis Senior Titiek Puspa Meninggal Dunia

10 April 2025
Aktor Hollywood ‘Batman Forever’ Val Kilmer Meninggal Dunia
VARIETY

Aktor Hollywood ‘Batman Forever’ Val Kilmer Meninggal Dunia

2 April 2025
Kabar Duka, Aktor Senior Ray Sahetapy Meninggal Dunia
VARIETY

Kabar Duka, Aktor Senior Ray Sahetapy Meninggal Dunia

2 April 2025
Harga Mahal Sebuah Keadilan, Mengenang Munir Menolak Lupa
VARIETY

Harga Mahal Sebuah Keadilan, Mengenang Munir Menolak Lupa

18 Maret 2025
Tan Malaka: Bapak Republik, Musuh Semua Rezim Berkuasa
VARIETY

Tan Malaka: Bapak Republik, Musuh Semua Rezim Berkuasa

18 Maret 2025
Next Post
Nasib Investasi Qatar dan UEA Bangun Tujuh Juta Unit Rumah di Indonesia Belum Jelas, Jangan Hanya Jadi ‘Omon-omon’

Nasib Investasi Qatar dan UEA Bangun Tujuh Juta Unit Rumah di Indonesia Belum Jelas, Jangan Hanya Jadi 'Omon-omon'

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

ABC News

© 2025 abcnews.co.id

Navigate Site

  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Karier
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kerja Sama & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • HOME
  • NEWS
  • ECONOMY
  • ENERGY

© 2025 abcnews.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In