ABC NEWS – Sebanyak tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh Kejaksaaan Agung (Kejagung) dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada subholding PT Pertamina (Persero) dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-203.
Perlu diketahui, dari ketujuh orang yang jadi tersangka dan ditahan Kejagung, empat di antaranya berasal dari subholding Pertamina.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2), bilang, “Dari hasil pemeriksaan terhadap beberapa orang tersebut maka penyidik berketetapan menetapkan tujuh orang saksi menjadi tersangka.”

Penjelasan dia, sebelumnya tim penyidik Kejagung telah telah memeriksa 96 saksi dalam kasus tersebut. Pihak Kejagung juga memeriksa dua orang saksi ahli.
Harli berkata, “Penyidik pada jajaran Jampidsus dalam perkara ini telah melakukan pemeriksaan terhadap setidaknya 96 saksi dan dua orang ahli.”
Dia juga komentar, “Pada hari ini ada beberapa orang yang dipanggil dan dibawa penyidik untuk dilakukan pemeriksaan sebagai saksi.”
Harli kembali komentar, “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut.”
Sekedar informasi, adapun empat orang dari Pertamina yang menjadi tersangka dan langsung ditahan adalah, Dirut Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, dan Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin.

Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina International Shiping Yoki Firnandi, dan VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono.
Kembali mengingatkan publik, kasus ini bermula pada 2018 saat dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan dalam Negeri.
Regulasi itu kemudian mewajibkan Pertamina untuk mencari minyak yang diproduksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, KKKS swasta pun ikut diwajibkan untuk menawarkan minyak bagiannya kepada Pertamina.

Mengacu pada Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018, pasal 2 Ayat 2, PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Kemudian pada pasal 3, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau afiliasinya wajib menawarkan Minyak Bumi bagian Kontraktor kepada PT Pertamina (Persero) dan/atau Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi.
Jika penawaran tersebut ditolak oleh Pertamina, maka penolakan tersebut digunakan untuk mengajukan rekomendasi ekspor sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan persetujuan ekspor.
Ironi, Unit Integrated Supply Chain (ISC) PT Pertamina (Persero) dan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) terlibat skandal penawaran dengan KKKS.

ISC Pertamina adalah bagian dari rantai pasokan yang bertugas untuk merencanakan, mengoptimalkan, dan mengoperasikan suplai dan ekspor minyak mentah, bahan bakar minyak, dan elpiji.
Menurut Harli, saat itu terjadi ekspor Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara (MMKBN) dengan alasan saat pandemi Covid-19 terjadi pengurangan kapasitas intake produksi kilang.
Ungkap Harli, “Namun pada waktu yang sama, Pertamina malah melakukan impor minyak mentah untuk memenuhi intake produksi kilang.”
Dia menambahkan, “Perbuatan menjual MMKBN tersebut mengakibatkan minyak mentah yang dapat diolah di kilang harus digantikan dengan minyak mentah impor, yang merupakan kebiasaan PT Pertamina yang tidak dapat lepas dari impor minyak mentah.”
Adapun tujuh tersangka yang sudah ditahan pihak Kejagung adalah:
1. Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga).
2. Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional).
3. Yoki Firnandi (Dirut PT Pertamina International Shiping).
4. Agus Purwono (VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International).
5. MKAR (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa)
6. DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim).
7. Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Dirut PT Orbit Terminal Merak).
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar ikut komentar, “Kepada para tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan dari 24 Februari hingga 15 Maret 2025.”

Anak Angkat Riza Chalid
Di satu sisi, beredar kabar bahwa salah satu tersangka, yakni Gading Ramadhan Joedo, adalah anak angkat dari ‘Saudagar Minyak’ atau The Gasoline Godfather yang bernama Mohammad Riza Chalid.

Nama Riza Chalid dulu kerap dihubungkan dengan istilah ‘penguasa abadi bisnis minyak’ di Indonesia melalui bendera Petral.

Gading Joedo juga diketahui sebagai presiden dari klub basket Amartha Hangtuah Jakarta. Gading menjadi salah satu bohir di klub tersebut.
Perkenalan Gading dengan Amartha Hangtuah Jakarta melalui seorang rekannya. Saat itu, klub tersebut sedang menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal pendanaan.
Sejak berdiri pada 1995, Amartha Hangtuah Jakarta telah menjadi salah satu klub basket profesional yang diperhitungkan di Indonesia.
Klub ini memiliki sejarah panjang dalam berbagai kompetisi, termasuk Championship Series dan ASEAN Basketball League.
Sejumlah media massa memberitakan bahwa Gading juga duduk sebagai salah satu direksi di PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi sejak 2012.
Perusahaan ini bergerak di bidang pelayaran dan logistik, khususnya dalam pengangkutan komoditas energi seperti migas.
Sejumlah sumber literasi di situs daring menulis, Riza Chalid memiliki dua orang anak dari pernikahannya dengan Roestriana Adrianti (Uchu), yakni Muhammad Kerry Adrianto (lahir 1985) dan Kenesa Ilona Rina (lahir 1989).
Riza Chalid dan Uchu menikah pada 1985 lalu keduanya bercerai pada 2012. Kerry pun dikabarkan duduk sebagai salah satu komisaris di PT Orbit Terminal Merak (dahulu bernama PT Oil Tangking Merak).
Perusahaan tersebut pada 2015 disebut dalam surat kontroversial Setya Novanto kepada Dirut Pertamina kala itu, Dwi Soetjipto, terkait permintaan DPR agar Pertamina membayar biaya penyimpanan BBM kepada PT Orbit Terminal Merak.
Namun, pihak Pertamina menolak permintaan tersebut karena masih ada proses renegosiasi harga yang sedang berlangsung, dan kemudian surat tersebut dinyatakan palsu.
(Red)