ABC NEWS – Terungkapnya kasus korupsi di subholding PT Pertamina (Persero) secara masif yang menjerat jajaran direksi subholding, menjadi sebuah catatan khusus bagaimana rusaknya mental dan sistem sebuah BUMN di republik ini.
Adanya motivasi intrinsik pelaku dan dukungan lingkungan, semakin menambah intensitas terjadinya kasus korupsi.
Jika dilihat dari berbagai perspektif teori, (issue contingent model, theory of delinguency, dan teori fraud triangle), persepsi lingkungan atas kelaziman budaya korup dan gratifikasi sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan etis, terutama saat individu mengalami dilema etika.
Ketika seseorang mengalami dilema etika, keputusan untuk menerima hal yang tidak baik membutuhkan proses pengolahan kognisi, sehingga yang bersangkutan dapat menetralisasi rasa bersalahnya dan merasionalisasi keputusannya.

Sesuai dengan teori yang ada, kejahatan pada dasarnya tidak serta merta muncul dari pemikiran internal, tetapi muncul dari pembelajaran yang didapat dari lingkungan.
Sejatinya, banyak upaya untuk memberantas korupsi. Namun, penularan hal yang negatif jauh lebih cepat dari usaha pemberantasannya.
Sebab, korupsi seolah telah membudaya dan korupsi sudah membentuk pola jejaring sosial, sehingga sering disebut korupsi kolektif.
Pola jejaring ini menyiratkan bahwa pihak yang menikmati uang korupsi tidak hanya tunggal, tetapi jamak.
Jamaknya penerima menandakan bahwa korupsi kolektif ini seolah diterima secara konsensus sosial oleh banyak pihak.

Alih-alih pelaku yang tertangkap tidak didera rasa malu, mereka tetap menunjukkan eksistensi diri dan beranggapan bahwa pengusutan kasusnya hanyalah suatu kesialan belaka.
Perilaku korup merupakan hasil perpaduan antara kerakteristik individual dengan sistem. Selain itu, korupsi akan selalu terkait dengan moral dan integritas.
Bisa jadi lemahnya konsensus sosial atas sanksi korupsi adalah adanya toleransi terhadap korupsi, dan tidak adanya kecaman publik terhadap pelaku korupsi, khususnya di instusi yang terkena korup.
Hal ini membuktikan konsesus sosial yang ada di masyarakat menjadi bagian penting dalam memerangi atau menyuburkan korupsi di suatu institusi atau lembaga.
Teori fraud triangle yang diperkenalkan oleh Cressey (1950, 1971) menyatakan bahwa pada dasarnya, kecurangan terjadi akibat perpaduan akan tiga hal, yaitu kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi.

Tekanan mewakili motivasi seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi, sementara kesempatan adalah alat yang bisa dipakai untuk mengeksekusi tindakan itu, sedangkan rasionalisasi membantu pelaku untuk menyingkirkan disonansi akibat perasaan bersalah akan tindakan korupsi.
Terkait dengan segitiga fraud, faktor pertama yang dapat mempersubur korupsi adalah tekanan.
Tekanan ini mewakili sebuah konstruk motivasi untuk menerima korupsi. Tekanan ini adalah sebuah hal persepsian yang lahir dari egosentris manusia.
Sementara Cressey (1950) menjelaskan bahwa non-shareable problems menjadi alasan perbuatan curang.
Penjabaran Cressey (1950) dikembangkan secara lebih detil oleh beberapa ilmuwan, salah satunya oleh Dellaportas (2013) memberi beberapa contoh tekanan yang dapat menjadi motivasi korupsi.
Pertama, tekanan finansial seperti keserakahan, terlilit utang, kebutuhan tidak terduga, dan pemenuhan gaya hidup.
Kemudahan akses terhadap barang konsumtif baik secara daring maupun luring dapat mengubah kebutuhan tersier dan sekunder menjadi seolah primer.
Kedua, tekanan pekerjaan seperti ketidakpuasan kerja, ambisi untuk promosi, ambisi untuk mengarahkan kepentingan negara seiring dengan kepentingannya, serta ketakutan akan ancaman posisi.

Seseorang pegawai korup rela melakukan apapun demi mendapatkan kesempatan kenaikan karier, menghindari penempatan yang tidak diinginkan, menginginkan posisi tertentu, dan keuntungan finansial.
Bila tekanan bertemu dengan kesempatan, maka akan semakin kuat motivasi untuk korupsi. Contoh kesempatan yang mendukung korupsi adalah kurangnya sistem kontrol yang baik, tidak jelasnya konsekuensi hukuman, tidak konsistennya penerapan hukuman, dan sebagainya.
Proses calon koruptor menimbang kesempatan dan risiko ini adalah refleksi dari teori pilihan rasional. Teori pilihan yang rasional mengungkap bahwa sebagai makhluk rasional, manusia selalu mempertimbangkan risiko dan keuntungan dari sebuah tindakan jauh sebelum dia mengambil keputusan.
Sebelum eksekusi tindakan negatif, pelaku akan merasionalisasi tindakannya terlebih dahulu. Secara manusiawi, rasionalisasi ini dapat menetralisasi perasaan bersalah.
Terdapat tiga jenis rasionalisasi yang kerap dibahas, yaitu denial of responsibility, denial of injury, dan denial of victims.
Pertama, pada denial of responsibility. Pelaku dapat mengelak bahwa korupsi merupakan satu-satunya pilihan yang tidak terhindarkan akibat sistem yang sudah telanjur berjalan keliru.
Korupsi adalah keterpaksaan akibat kondisi yang ada. Keterpaksaan ini merupakan usaha pelaku untuk mengelak dari tanggung jawabnya.
Mereka merasa bahwa tidaklah mungkin mereka untuk menghindari korupsi, sebab mereka hanyalah bagian kecil dari sistem.
Kedua, koruptor mengelak dari denial of injury. Pelaku menetralisasi rasa bersalahnya dengan berkeyakinan bahwa tidak ada potensi hal berbahaya yang ditimbulkan.
Ketiga, yang mendukung rasionalisasi tindakan koruptif adalah denial of victim. Korban pada dasarnya samar, tidak dapat diidentifikasi secara langsung, serta tidak merugikan pihak yang dekat dengan pelaku.
Sifat samar ini yang membuat pelaku seakan tidak merasa bersalah dan merugikan pihak manapun. Pada bidang ilmu kriminologi, semakin kabur imbas dari sebuah perilaku menyimpang dipersepsikan oleh pelaku.
Maka semakin mudah pelaku menyingkirkan disonansi (rasa bersalah) dalam dirinya dan mengubah perilaku yang semestinya taketis menjadi dianggap wajar.
Korupsi tidak serta merta terjadi karena keserakahan manusia, melainkan terdapat proses logis yang mendukungnya.
Bila ditinjau dari teori kriminologi, maka korupsi secara genetika adalah hal yang dipelajari. Pembelajaran akan celah korupsi bisa berasal dari orang lain di lingkungannya, dari celah hukum yang dapat dimanfaatkan, atau dari sistem.
Hal ini senada dengan teori pelanggaran (Sykes & Matza, 1957) yang menyatakan bahwa pelanggaran merupakan perilaku yang dapat dipelajari dari proses interaksi sosial.
Menurut teori pelanggaran, sebelum seseorang yang berniat melanggar aturan, mereka akan belajar teknik eksekusi pelanggaran, maupun motif, dorongan, dan yang mendukung keputusannya.
Salah satu cara untuk menetralisasi rasa bersalah adalah dengan berargumen bahwa hal yang dilakukannya dinilai lazim (Benson, 1985; Sykes & Matza, 1957).
Menurut (Sykes & Matza, 1957), pelanggar hukum bahkan berusaha untuk membentuk budaya pelanggaran atau delinguent sub-culture.
Tujuannya adalah mengubah persepsi akan suatu hal yang semestinya tidak baik, menjadi terlihat baik.

Jika budaya ini sudah terbentuk, maka calon koruptor dapat lebih mudah menetralisasi rasa bersalahnya, yaitu dengan mencari pembenaran yang berasal dari komparasi sosial yang mendukung.
Selain teori-teori yang disebutkan sebelumnya, adapula konsep rasionalisasi dengan menambahkan proses social weighting dalam tindak pidana korupsi.
Ketika pelaku terintimidasi oleh citra buruk tindakan koruptifnya, maka secara naluriah dia akan mencari pembanding sosial demi menyelamatkan potret diri.
Tentunya, dia akan mencari sosok orang lain yang lebih korup. Misalnya, seorang pelaku dapat berargumen bahwa orang lain yang memegang posisi yang sama sebelum dia menjabat pun juga melakukan korupsi serupa, bedanya tidak ketahuan dan tidak sedang apes.
Proses pembandingan sosial dengan orang lain yang lebih buruk ini kemudian yang semakin menetralisasi korupsi. Fenomena ini sejalan dengan teori pembelajaran sosial yang meyatakan bahwa individu mengembangkan motivasi untuk menerima atau melakukan korupsi melalui orang-orang lain di sekitarnya yang sudah pernah melakukan hal serupa.
Monkey see monkey do. Kutipan Robinson & Leary-Kelly (1998) sesuai dengan kajian teori penyebaran perilaku koruptif.
Ketika sebuah perilaku menyimpang dilakukan oleh beberapa orang, maka propensitas perilaku itu akan ditiru dan berulang.
Sejumlah literasi menulis, sifat keserakahan manusia membuat variasi tekanan menjadi lebih luas dan tidak hanya soal tekanan finansial saja.
Mengapa korupsi di Pertamina kemudian menjadi marak? Bisa jadi si pelaku memang memiliki sifat begundal, atau memang lingkungan Pertamina yang sudah sangat kotor.
(Red)