ABC NEWS – Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu. Emanen nyawamu, ojo mbok terus-teruske. Mergane ora ono gunane. Oplosan. Oplosan. Oplosan.
Lirik lagu berjudul Oplosan yang dipopulerkan oleh Wiwik Sagita sempat viral di sejumlah sosial media.
Kini, diksi oplosan kembali viral, namun kali ini kaitannya dengan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax milik PT Pertamina (Persero).
Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada subholding PT Pertamina (Persero) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023 mengguncang publik dalam dua minggu terakhir.
Kasus itu kemudian terus bergulir liar, apalagi ketika sejumlah petinggi subholding Pertamina dinyatakan sebagai tersangka dan langsung ditahan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).

Apalagi ketika pihak Kejagung menyebut bahwa salah satu modus kejahatan korupsi itu adalah pembelian minyak dengan Research Octane Number (RON) 90 yang kemudian diolah dan dicampur menjadi RON 92 atau setara Pertamax.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar bilang, “Fakta yang ada dari transaksi RON 90 di-blending dengan (RON) 92 dan dipasarkan seharga (RON) 92.”

Namun, Qohar belum bisa membuktikan soal kebenaran dari RON 92 yang diduga dioplos itu. Dia hanya menjelaskan bahwa berdasarkan fakta-fakta penyidikan, semua mengarah kepada dugaan pengoplosan, yang merupakan hasil dari keterangan saksi dan barang bukti.
Kata Qohar, “Apakah itu nanti RON 92 atau tidak, ini ahli akan meneliti.”
Di satu sisi, ternyata di dalam perdagangan minyak internasional, tidak terdapat produk gasoline dengan nilai/tingkat oktan (Research Octane Number/RON) 90.
Hal tersebut diungkap sumber ABCNEWS.co.id yang mengetahui seluk beluk bisnis di subholding PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Patra Niaga, di Jakarta, Jumat (28/2).
Kata sumber, “Tidak ada kilang diseluruh dunia yang memproduksi gasoline RON 90. Namun, Indonesia memiliki kebutuhan akan impor RON 90 dan RON 92.”
Sumber lalu bilang, “Oleh karena itu, Patra Niaga secara rutin membuka tender untuk RON 90 di pasar internasional, meskipun tidak melakukan tender untuk RON 92.”
Sumber mengungkapkan, “Meskipun tidak ada kilang yang memproduksi RON 90, banyak trader minyak yang tetap berpartisipasi dalam tender tersebut.”
Komentar sumber, “Hal ini disebabkan oleh selisih harga sangat kecil antara RON 92 dan RON 90 yang ditentukan berdasarkan rumus Harga Indeks Pasar (HIP) dari Kementerian ESDM.”
Sumber kembali menerangkan, bahwa meskipun gasoline yang diimpor dan disubsidi sebenarnya adalah RON 92, produk tersebut diidentifikasi sebagai RON 90.
“Gasoline yang berwarna biru terang dijual ke SPBU dengan harga Pertamax, yang tentunya harganya lebih tinggi dibandingkan harga Pertalite,” jelas sumber.
Kalah Opini Publik
Di satu sisi, kasus korupsi dan dugaan praktik oplosan sekaligus seakan menjadi dua pukulan telak yang tidak bisa dihindari Pertamina.
Kepercayaan publik terhadap Pertamina berada di titik nadir. Sejumlah meme berseliweran di media sosial.
Meme itu dengan sengaja mengejek secara satir dan gamblang serta vulgar semua kelakuan para petinggi Pertamina dan hasil produk Pertamina.

Ironi, bahkan ajakan untuk beralih ke produk asing non-Pertamina juga marak. Bahkan, ada pula pihak-pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan class action ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan karena merasa telah ditipu.
Pihak Pertamina lantas melakukan pembelaan. Secara tegas, subholding Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga, membantah adanya pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite jadi Pertamax.
Sekretaris Perusahaan Patra Niaga Heppy Wulansari bilang, “Kualitas Pertamax yang dijual Pertamina dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yakni RON 92.”

Dia pun bilang, “Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92.
Heppy kembali berkata, “Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah.”
Nasi sudah menjadi bubur. Suka atau tidak, pihak Pertamina sudah kalah telak secara opini publik. Publik telah menghakimi Pertamina.
Sekedar informasi, opini publik dalam hal komunikasi adalah hasil dari proses penyampaian pesan yang secara kolektif atau publik direspons karena adanya perhatian yang sama terhadap isi pesan yang disampaikan.
Umumnya, pemilihan opini publik didasarkan pada jumlah mayoritas yang efektif dan bukan pada jumlah mayoritas secara keseluruhan.

Opini publik biasanya menggunakan subjek yang berupa permasalahan baru yang mengandung pernyataan bersifat kontroversial.
Sifat dari pernyataannya tersebut mempunyai suatu hal yang bertentangan dan menjadi reaksi pertama ataupun sebuah gagasan baru.
Tim manajemen Pertamina maupun di subholding, khususnya yang menangani komunikasi publik tampak terlihat gagap dan kebingungan.
Mereka seperti layangan putus. Ironi, sejumlah ‘rekan media’ dan mungkin ‘rekan-rekan jurnalis’ yang dapat ‘biasa dapat makan’ dari Pertamina tidak melakukan pembelaan apapun, bahkan terkesan masa bodoh.
Jadi, pertanyaannya kemudian, buat apa Pertamina selama ini keluar dana untuk mereka? Jelas terlihat bahwa tim komunikasi Pertamina dan subholding yang selama ini berhubungan dengan ‘mereka’, ternyata salah pilih rekan.
Sialnya, tim komunikasi Pertamina juga sepertinya tidak melakukan mitigasi ketika menghadapi kasus seperti ini, dan bagaimana mengatasinya. Mungkin tim komunikasi Pertamina juga tidak terbiasa dengan istilah manajemen konflik.
Kemarahan Publik
Kemarahan publik sudah kadung tidak terbendung. Sepertinya perlu pihak lain untuk membuktikan bahwa Pertamina ‘tidak berlaku curang’ kepada masyarakat terkait oplosan tersebut.
Narasi oplosan yang diutarakan Kejagung langsung membuat publik meradang. Percakapan soal Pertamax di media sosial X menjadi trending topik yang banyak dibicarakan.
Mayoritas warganet merasa tertipu karena sudah membeli Pertamax dengan harga yang tak murah, tapi malah mendapatkan produk berbeda dengan kualitas lebih rendah.
Ajakan untuk beralih ke produk asing pun menggema. Bahkan ada yang berinisiatif mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan.

Pertamina sepertinya perlu menggandeng BPH Migas atau Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Kementerian ESDM untuk melakukan pembuktian secara terbuka kepada publik guna mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) Universtas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi bilang, “Pertamina bisa menggandeng ahli untuk menguji dengan mengambil sampling apakah benar kualitasnya sesuai.
Kata dia, “Kalau terbukti ada pengoplosan, maka harus ditarik dari peredaran. Tanpa itu, masyarakat enggak akan percaya. Imbasnya akan terjadi migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite.”
Menurut Fahmy, kemarahan publik tidak bisa terhindarkan, apalagi karena yang menyampaikan adalah aparat penegak hukum.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menyarankan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri sering tampil ke publik untuk menjelaskan kepada masyarakat dan menjamin bahwa kualitas BBM yang beredar di SPBU sudah memenuhi ketentuan yang berlaku.
Kata Yusri, “Selain menjelaskan ke publik dan menjamin kualitas BBM Pertamina, Simon juga mesti menyakinkan ke masyarakat bahwa pihaknya akan terus melakukan perbaikan proses bisnis di internal Pertamina.”
Yusri bilang, “Seharusnya kondisi ini tidak dianggap remeh oleh manajemen Pertamina. Saat ini masyarakat sedang dalam krisis kepercayaan kepada Pertamina.”
Dia lalu bilang, “Adanya kasus korupsi proses bisnis impor BBM dan minyak mentah di Pertamina dan subholding, seakan-akan menjadi justifikasi bahwa BUMN ini mengalami kerusakan pengawasan akut.”
Tabayyun
Di sisi lain, memasuki Ramadan, ada baiknya masyarakat melakukan tabayyun (sikap mencari kejelasan atau kebenaran tentang sesuatu sebelum bertindak) dengan mencari sumber informasi yang valid, tanpa harus langsung menghakimi Pertamina.
Masyarakat kalau bisa lebih cermat dalam memilih sumber berita, hanya mempercayai informasi yang berasal dari media kredibel dan pakar industri yang memiliki keahlian di bidangnya.
Selain itu, menunggu klarifikasi dari pihak berwenang sebelum menyimpulkan sesuatu adalah langkah yang bijak.

Pemerintah dan Pertamina sebagai pemangku kepentingan pun harus sering-sering memberikan penjelasan resmi untuk meluruskan isu yang beredar.
Memahami isu ini dari sudut pandang logika dan ilmu pengetahuan, dan sosial masyarakat juga merupakan langkah penting.
Di era digital yang penuh dengan dinamika informasi, menanggapi setiap berita dengan sikap selektif dan kritis merupakan sebuah keharusan.
Penyebaran informasi yang tidak akurat tidak hanya dapat menimbulkan keresahan, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kepercayaan publik terhadap institusi yang berwenang.
Pada akhirnya, kebenaran tidak ditentukan oleh seberapa viral sebuah berita, tetapi oleh seberapa kuat fakta yang mendukungnya.
(Tim Redaksi ABCNews.co.id)