ABC NEWS – Rodrigo ‘Rody’ Roa Duterte, mantan presiden Filipina, usai ditangkap langsung diterbangkan ke Den Haag, Belanda pada Selasa (11/3) malam.
Wakil Presiden Sara Duterte-Carpio, mengutip The Philippine Star, Rabu (12/3), menyebut bahwa Duterte diterbangkan ke Den Haag untuk diadili di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).
Seperti diketahui, Sara Duterte adalah putri kandung dari Rodrigo. Sara menyebut bahwa penyerahan ayahnya kepada ICC merupakan ‘penindasan dan penganiayaan’ serta ‘penghinaan’ atas kedaulatan Filipina, dan bentuk pelecehan terhadap semua warga Filipina yang mengakui kemerdekaan mereka.
Kata Sara, “Sejak ia ditahan pagi ini, ia masih belum dihadapkan kepada otoritas pengadilan yang kompeten untuk memastikan hak-haknya dan memungkinkannya memanfaatkan keringanan yang dijamin hukum.”
Sara pun bilang, “Ia (Rodrigo) dibawa secara paksa ke Den Haag.”
Sekedar informasi, sang mantan presiden tersebut telah dibawa ke pesawat yang akan menerbangkannya ke Den Haag yang menjadi markas ICC.
Sebelumnya, kantor kepresidenan Filipina mengungkapkan bahwa Duterte diamankan di bandara Manila setelah penerbangannya dari Hong Kong.
Info yang beredar, Rodrigo yang kini berusia 80 tahun tersebut telah dituduh mengizinkan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM lainnya dalam upayanya memerangi narkoba.
Kilas balik, setelah pelantikannya menjadi presiden pada 2016, Rodrigo berbicara kepada wartawan di Tondo, Manila, di mana ia mendesak warga Filipina untuk secara sukarela membunuh para pengedar narkoba dan pecandu.
Sehari setelah pelantikannya, Rodrigo meminta Tentara Rakyat Baru, sayap bersenjata Partai Komunis Filipina, untuk ‘melucuti senjata dan menahan’ raja obat bius.
Diperkirakan lebih dari 6.000 orang yang diduga terkait dengan kejahatan narkoba dibunuh dalam operasi anti-narkoba pada masa kepresidenan Rodrigo Duterte 2016-2022.
Rangkaian pembunuhan tersebut memicu penyelidikan ICC terhadap dugaan pelanggaran HAM. Pada Maret 2018, Filipina menarik diri dari Statuta Roma yang menjadi dasar ICC.
Berlanjut pada Juli 2023, Filipina menolak bekerja sama dengan pengadilan internasional tersebut serta memilih menjalankan penyelidikannya sendiri.
Namun, pada November 2024, pemerintah Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr sepakat tidak akan mencegah penahanan Rodrigo oleh ICC, dan pada Januari lalu, mereka menyatakan akan mematuhi perintah penangkapan Rodrigo yang diterbitkan ICC.
Semula, pada Senin (10/3), Rodrigo sempat menyatakan bersedia dipenjara jika ada surat perintah penangkapan dari ICC.
Namun, setelah surat perintah tersebut turun, ia justru berbalik menolak penahanannya, terlebih karena hal itu dilakukan oleh otoritas Barat.
(Red)