ABC NEWS – Direktur Utama PT Petro Energy (PT PE) Newin Nugroho (NN) resmi ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah sebelumnya menjadi tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Kamis (13/2), bilang, “NN, Presiden Direktur PT PE.”
Penjelasan Tessa, Newin Nugroho akan ditahan selama 20 hari, yaitu terhitung 13 Maret hingga 1 April 2025. Ia akan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK, Jakarta.
Komentar Tessa, “Ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Jakarta Timur, Cabang Rumah Tahanan KPK.”

Sekedar informasi, Newin Nugroho dibawa keluar Gedung Merah Putih menggunakan rompi tahanan KPK sekira pukul 15.26 WIB.
Ia terlihat dikawal empat orang petugas KPK untuk dibawa ke Rutan. Sebelumnya, KPK memanggil dua petinggi PT Petro Energy dan satu konsultan untuk diperiksa terkait kasus korupsi pemberian kredit oleh LPEI.
Ketiganya adalah Newin Nugroho, Jimmy Masrin selaku komisaris utama PT Petro Energy, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku konsultan/wiraswasta.
Sebelumnya KPK telah menetapkan ketiganya sebagai tersangka pada 3 Maret 2025. KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus korupsi tersebut.
Kelima tersangka adalah Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I LPEI), Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV LPEI), Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta selaku debitur dari Petro Energy.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka lantaran melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara USD 60 juta atau setara Rp 900 miliar.
Kasus Pada Idi
Nama Newin Nugroho bukan kali pertama tersangdung kasus hukum. Sebelumnya namanya juga santer terdengar dalam keterlibatannya dalam pengalihan saham PT Pada Idi (PTPI) ke PT Mitrada Sinergy (PTMS).
Pada Idi adalah pemilik konsesi lahan batubara yang berlokasi di Luwe Hulu, Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Kasus tersebut sempat disidangkan oleh majelis hakim dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kasus itu melibatkan sejumlah nama perusahaan, selain Pada Id dan Mitrada Sinergy, yaitu PT Petro Energy, PT Solusi Pandu Virtua, dan Bank Perkreditan Rakyat Djojo Mandiri Raya.
Kasus ini bermula dari penjualan saham sebesar 27,5 persen milik pemegang saham Pada Idi kepada Mitrada Sinergy, dengan dasar Nota Kesepakatan Nilai Pengalihan Saham Nomor 001/NKNPS/PTMS-PTPI/I/2011 tanggal 24 Januari 2011.
Ternyata, Mitrada Sinergy belum membayar lunas pembelian saham tersebut kepada pemegang saham Padi Idi. Anehnya, Mitrada Sinergy malah membuat gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Mitrada Sinergy kemudian mengajukan gugatan PKPU kepada salah satu pemegang saham Padi Idi yang bernama Bintoro Iduansjah pada 8 Maret 2022 dengan nomor gugatan 49/PDT.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst (PKPU No 49).
Adapun majelis hakim yang menangani perkara tersebut adalah Duta Baskara (hakim ketua majelis), Mochammad Djoenaidie (hakim anggota), Kadarisman Al Riskandar (hakim anggota), dan Hartanto (panitera pengganti).
Keanehan kembali terjadi. Ada pemohon lain dalam gugatan ini, yaitu PT Petro Energy (PTPE) dan PT Solusi Pandu Virtua (PTSPV).
PKPU dengan perkara nomor 49 ini kemudian ditolak dengan salah satu alasannya majelis hakim menilai fakta atau keadaan adanya utang termohon PKPU sebagai debitur.
Karena PKPU ditolak, maka Mitrada Sinergy untuk kedua kalinya mengajukan kembali PKPU kepada pihak Bintoro Iduansjah pada 27 September 2022 dengan perkara nomor : 254/Pdt.SusPKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst (PKPU No. 254).
Majelis hakim dalam sidang ini adalah Mochammad Djoenaidie (hakim ketua majelis), Duta Baskara (hakim anggota), Kadarisman Al Riskandar (hakim anggota), Betsji Siske Manoe (hakim pengawas), dan Pipih Restiviani (panitera pengganti).
Gugagan kali ini menyertakan pemohon lain, yaitu Petro Energy, Solusi Pandu Virtua, Bank Perkreditan Rakyat Djojo Mandiri Raya, dan Pada Idi.
Anehnya, dalam gugatan tersebut terdapat kejanggalan, di mana pokok materi sama dengan gugatan PKPU pertama namun hasil putusannya berbeda.
Keanehan sangat kental terjadi karena pihak Bintoro Iduansjah mengaku tidak pernah merasa memiliki utang, justru Mitrada Sinergy yang memiliki utang kepada Bintoro Iduansjah karena belum melunasi pembelian saham Padi Idi.
Sekedar informasi, awalnya Pada Idi sahamnya dimiliki oleh Bintoro Iduansjah dan The Budi Tedjo Prawiro dengan masing-masing kepemilikan saham sebesar 50 persen.
Kemudian pada 24 Januari 2011, Bintoro Iduansjah dan The Budi Tedjo Prawiro menjual sahamnya di Pada Idi masing-masing dengan porsi sebanyak 27,5 persen kepada Mitrada Sinergy.
(Red)