ABC NEWS – Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini (Senin, 17/3) baru saja memanggil Nicke Widyawati, mantan direktur utama (dirut) PT Pertamina (Persero) periode 30 Agustus 2018 hingga 4 November 2024, sebagai saksi dalam kasus jual beli gas antara PT PGN Tbk dengan PT Inti Alasindo Energi (IAE).
PGN adalah subholding dari Pertamina. Kasus itu bermula dari adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April 2023.
Sebenarnya, kasus jual beli gas tersebut hanya satu dari sekian banyak masalah (fraud) yang ditemukan dalam pengelolaan bisnis di PGN.
Berdasarkan penelusuran tim ABCNEWS.co.id, secara akumulatif potensi kerugian yang dialami PGN, jika mengacu kepada audit BPK mencapai USD USD 1,187 miliar plus Rp 477,51 miliar.
Jika kurs rupiah terhadap dolar AS adalah Rp 16.367,5, maka potensi kerugiannya menjadi Rp 19,45 triliun plus Rp 477,51 miliar, total menjadi Rp 19,92 triliun.
Ironi, hingga hampir dua tahun berjalan, belum ada satu orang pun yang ditahan KPK dalam berbagai kasus yang telah dilaporkan BPK tersebut.
Kalau pun ada, itu baru kasus jual beli gas antara PGN dengan IAE.
Adanya ‘kelambatan’ penanganan berbagai macam kasus tersebut sempat disayangkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman belum lama ini.

Kata dia, “KPK kalah cepat dan sigap dibandingkan Kejaksaan Agung dalam perkara penanganan kasus yang berkaitan dengan sektor migas.”
Yusri bilang, “Bayangkan, adanya berbagai penyimpangan di PGN itu telah dilaporkan secara resmi ke KPK oleh Wakil Ketua BPK Hendra Susanto pada April 2023.”
“Namun entah kenapa KPK sudah hampir dua tahun belum menindaklajutinya. Ada apa sebenarnya dengan KPK?,” ujar Yusri.
Dia melanjutkan, “Kenapa KPK untuk kasus PGN seperti kerupuk kena air, jadi seblak.”
Semestinya, imbuh Yusri, kasus jual beli gas itu hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain yang direkomendasikan BPK agar segera ditindaklanjuti oleh KPK.
Penegasan Yusri, ada satu tokoh yang semestinya mendapat perhatian khusus KPK, yakni Hendi Prio Santoso, mantan dirut PGN periode 2008–2017.

Tegas Yusri, “KPK seharusnya segera dan secepatnya memanggil Hendi, ini malah yang dipanggil Nicke. Salah arah sepertinya KPK.”
Secara lantang Yusri berkata, “Hendi Prio selama duduk sebagai dirut di PGN banyak menimbulkan masalah dari sejumlah aksi korporasi yang dilakukan.”
Lanjut dia, “Ujungnya setelah Hendi Prio tidak lagi di PGN seperti meninggalkan bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membuat PGN hancur lebur.”
Kasus Teluk Lamong
Selain kasus jual beli gas, BPK juga mengungkapkan adanya potensi masalah di proyek pembangunan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur.
PGN ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp 383,2 miliar yang dimulai sejak 2019, saat proyek itu mangkrak dan tidak bisa dimanfaatkan.
Semula PGN pada 2018 berinisiatif membangun proyek terminal LNG Teluk Lamong. Tujuannya, untuk mengatasi penurunan pasokan gas di wilayah Jawa Timur.
Proses studi kelayakan dan analisis keekonomian pun dilakukan demi mendukung perencanaan proyek.

Salah satunya menggunakan data Neraca Gas Bumi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2018-2028 yang disusun fungsi Business Unit Gas Product atau BUGP.
Selanjutnya pada 2019 direksi PGN menyetujui proyek LNG Teluk Lamong lewat keputusan investasi akhir (final investment decision/FID).
Pendanaannya proyek itu menggandeng PT Pelindo Energi Logistik (PEL), anak usaha PT Pelabuhan Indonesia III (Persero).
PGN lalu menujuk PT PGN LNG Indonesia (PLI), salah satu anak usahanya, sebagai pemilik proyek pembangunan terminal LNG Teluk Lamong.

PT PLI lalu menunjuk PT PGAS Solution selaku anak usahanya sebagai pelaksana pekerjaan terminal LNG dengan kapasitas gas 40 juta kaki kubik per hari (MMscfd) tersebut.
Pembangunan proyek ini terbagi menjadi dua fase. Pertama, berupa pekerjaan terminal regasifikasi darat (onshore regasification unit/ORU), depo pelayanan gas skala kecil (filling station), dan pipa kriogenik (cryogenic pipeline). Kedua, pembangunan flat bottom tank (FBT).
Proyek semula ditargetkan beroperasi akhir 2019 dan tuntas dikerjakan pada 2023.
Namun hingga saat ini terminal LGN Teluk Lamong belum dapat beroperasi, karena pembangunan FBT belum terealisasi.
Sementara PGASol selaku pelaksana pekerjaan tidak bisa menggarap proyek fase kedua tersebut karena direksi PGN belum meneken perubahan keputusan investasi akhir atau re-FID.
Alasan direksi PGN adalah masih harus mempertajam sejumlah variabel keekonomian, seperti pasokan LNG serta permintaan pelanggan.
Dampak lain dari mangkraknya proyek itu adalah, PT PLI pada 2022 harus menanggung biaya pemeliharaan atas aset yang belum beroperasi tersebut senilai Rp 1,1 miliar.
Nilai tersebut merupakan nilai biaya pemeliharaan yang ditagih PGASol untuk periode lima bulan terhitung 14 Juni hingga 13 November 2022.
Sementara berdasarkan penjelasan PGN, kebutuhan biaya pertahun yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan kondisi sarana prasarana yang sudah dibangun sebesar Rp 2,8 miliar pertahun.
Proyek ini jelas membuat PGN buntung. Versi BPK, proyek ini menjadi amburadul karena keputusan direksi PGN pada 2019 menyetujui investasi tanpa memitagsi risiko secara matang.
Ini daftar proyek PGN 2017-2022 terindikasi bermasalah yang diaudit BPK:
- Realisasi pembangunan terminal LNG Teluk Lamong senilai Rp 383,2 miliar, berpotensi tidak dapat dimanfaaatkan.
- Terdapat risiko klaim kegagalan pengiriman kontrak antara USD 26,92 juta hingga USD 376,9 juta dalam penjualan LNG PGN kepada Gunvor selama 2024-2027 dan berpotensi membebani keuangan perusahaan minimal sebesar USD 117,9 juta.
- Pemberian uang muka kepada PT Inti Alasindo Energi tidak didukung mitigasi risiko memadai yang menimbulkan potensi tidak tertagih sebesar USD 14,1 juta.
- Operasional FSRU Lampung 2020-2022 belum optimal, sehingga merugikan keuangan perusahaan minimal sebesar USD 131,27 juta.
- Persetujuan addendum pekerjaan revitalisasi Wisma 48 tidak mengacu pada kontrak sehingga nilai pembayaran addendum tidak dapat diterima sebesar Rp 2,1 miliar dan terdapat kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 201,5 juta.
- Terdapat pekerjaan reinstatement pada proyek pipa minyak Rokan tidak dikerjakan sebesar Rp 1,19 miliar.
- Terdapat pekerjaan pada proyek penggantian pipa minyak Rokan yang tidak dikerjakan oleh KPP sebesar Rp 6,9 miliar.
- Terdapat potensi kelebihan pembayaran sebesar Rp 422 juta pembangunan terminal LNG Jawa Timur oleh PT PGAS Solution.
- Akuisisi pada tiga Wilayah Kerja tidak sesuai proses bisnis komersial Saka, diperhitungkan lebih tinggi sebesar USD 56,6 juta dan akumulasi rugi operasi sebesar USD 347,1 juta.
- PT Pertagas belum mengakui pendapatan dan piutang ship or pay 2021 atas Perjanjian Pengangkutan Gas Ruas Pipa Arun-Belawan sebesar USD 45,4, juta dengan PT PLN (Persero).
- PT PGN belum menyetorkan unutilized volume senilai USD 137 juta yang timbul atas kebijakan harga gas bumi tertentu.
- PT PGAS Solution belum menerima pembayaran dari pekerjaan pemasangan pipa transmisi pada Sistem Penyediaan. Air Minum (SPAM) Umbulan minimal sebesar Rp 81,2 miliar.
- Persetujuan penyaluran gas tanpa jaminan pada PT FNG tidak sesuai ketentuan sehingga menimbulkan piutang macet sebesar Rp 2,3 miliar dan USD 2,4 juta.
- Persetujuan nilai jaminan pada PT Cipta Niaga Gas tidak sesuai ketentuan sehingga menimbulkan piutang macet senilai USD 335,9 juta.
- Pengelolaan jaringan gas bumi untuk rumah tangga penugasan pemerintah belum optimal.
- Perencanaan pembangunan jaringan gas GasKita 2021 memadai.
(Red)