ABC NEWS – Penerapan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian\ perlu ada kejelasan klarifikasi, jika hal itu benar-benar diterapkan dalam pengelolaan koperasi.
Pernyataan tersebut dilontarkan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Habib Syarief Muhammad di Jakarta, dikutip kembali Jumat (21/3).
Penjelasan Syarief, penerapan sanksi pidana dalam pengelolaan koperasi merupakan langkah maju. Namun jika sanksi pidana tersebut diterapkan secara kaku, dia khawatir partisipasi anggota dalam kepengurusan koperasi akan menurun.
Komentar Syarief, “Bagi saya perlu klasifikasi jelas baik terkait subjek, besaran kerugian, hingga jenis pelanggaran dalam penerapan sanksi pidana pengelolaan koperasi.”
Dia bilang, “Pengelolaan koperasi membutuhkan penguatan regulasi hukum, karena banyak kasus pidana dalam pengelolaan koperasi yang merugikan anggota.”
“Biasanya, kasus hukum yang menjerat koperasi memiliki skala kerugian yang besar. Penerapan pidana di koperasi seharusnya digunakan secara proporsional dan hanya sebagai jalan terakhir,” ujar Syarief.
Dia menambahkan, “Jangan sampai penerapan sanksi pidana malah menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Tapi sanksi pidana diperlukan agar tidak dimanfaatkan oknum tertentu karena tak adanya sanksi pidana pada perkoperasian dapat menimbulkan kerugian.”
Berdasarkan keterangan Syarief, Indonesia bisa mengadopsi penegakan hukum perkoperasian yang diterapkan Filipina dan Malaysia.
Dia mencontohkan di Filipina ada peraturan bahwa pelanggaran hukum di sektor koperasi bisa dihukum penjara dua hingga lima tahun, sedangkan terkait pajak koperasi bisa mendapatkan ancaman sanksi satu tahun penjara.
Syarief juga bicara soal undang-undang tentang koperasi di Malaysia, di mana regulasi itu mengatur terkait kebocoran rahasia data.
Jika ada pelanggaran kebocoran rahasia data, imbuh dia, maka dipidana maksimal enam bulan.
(Red)