ABC NEWS – Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta segera menetapkan status tersangka kepada Navayo International AG dan mengajukan red notice ke Interpol.
Hal itu terkait dikabulkannya permintaan Navayo untuk menyita aset milik pemerintah Indonesia di Paris, Prancis oleh Pengadilan Prancis.
Permintaan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan resminya, dikutip kembali Sabtu (22/3).
Sekedar kilas balik. Kasus itu bermula saat terjadinya sengketa pengadaan satelit antara Navayo dan Kementerian Pertahanan pada 2016.
Kemudian pada 22 April 2021, keputusan arbitrase International Chamber of Commerce (ICC) di Singapura menghukum pemerintah Indonesia membayar USD 10,2 juta ditambah tiga persen per tahun sejak jatuh tempo pada 22 April 2021.
Hingga Maret 2025, jumlah yang harus dibayarkan berdasarkan putusan itu mencapai USD 24,1 juta. Menurut Yusri, kasus Navayo tersebut diselimuti praktik manipulasi dan korupsi.
Komentar Yusri, “Kasus Navayo ini sarat dengan manipulasi dan korupsi. Karena itu, pemerintah tidak akan diam apalagi mengalah pada mereka.”

Yusri menjelaskan, berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan bahwa ada indikasi wanprestasi dalam kontrak pengadaan satelit antara Navayo dan Kemnhan di 2016.
Ia kemudian menyebut dari kontrak senilai USD 16 juta hanya dipenuhi Navayo sebesar Rp 1,9 miliar.
Yusri bilang, “Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang harus ditindaklanjuti dengan langkah pidana.”
Keterangan Yusri, pihak Kejagung telah menyelidiki kasus tersebut dan menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam kontrak pengadaan satelit.
Yusri lalu menyebut sejumlah pihak di Kementerian Pertahanan telah diperiksa Kejagung, sementara pihak Navayo tercatat mangkir dari pemanggilan yang dilakukan hingga tiga kali.
Lantang Yusri bicara, “Mereka kini malah mendapat izin untuk menyita aset diplomatik Indonesia di Paris, dan langkah serupa berpotensi dilakukan di negara lain.”
Pendapat Yusri, Kejagung perlu meningkatkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan serta menetapkan pihak Kementerian Pertahanan yang terlibat dalam kasus tersebut sebagai tersangka.
Sementara bagi pihak Navayo, imbuh Yusri, dirinya mendorong agar Kejagung menyerahkan nama-nama terkait ke Interpol guna penerbitan red notice.
Kata Yusri, “Mereka kini malah mendapat izin untuk menyita aset diplomatik Indonesia di Paris, dan langkah serupa berpotensi dilakukan di negara lain.”
Yusri berucap, “Orang yang namanya masuk DPO dan red notice adalah penjahat internasional. Melalui status tersebut, mereka tidak bisa seenaknya membuat surat kuasa untuk mengajukan gugatan penyitaan aset pemerintah Indonesia di luar negeri.”
Dia menambahkan, “Mereka jangan coba-coba mempermainkan pemerintah Indonesia dengan putusan arbitrase di negara lain.”
Kronologi
Sekedar informasi, Navayo International AG adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum negara Liechtenstein dan berkedudukan di Eschen, Liechtenstein.
Awalnya pada 2015, Kementerian Pertahanan berencana membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur yang kosong setelah Satelit Garuda-1 tidak berfungsi
Kementerian Pertahanan kemudian meneken kontrak dengan beberapa perusahaan, termasuk Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat, dalam kurun 2015-2016.
Akibat anggaran tidak tersedia, proyek Satkomhan tidak dapat dilanjutkan, dan Kementerian Pertahanan tidak memenuhi kewajibannya kepada Navayo sesuai kontrak.
Kabar yang beredar, sebenarnya Navayo bukan sebagai perusahaan pemilik satelit. Hal itu pun pernah dinyatakan oleh pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana.
Kata Juwana, “Navayo bukan perusahaan penyedia satelit komunikasi, melainkan penyedia perangkat darat yang menghubungkan pada satelit.”
Juwana menerangkan, “Banyak pihak di Indonesia memiliki persepsi yang salah terkait ini dengan mengira Navayo merupakan perusahaan penyedia satelit. Padahal satelit komunikasi yang dipesan oleh Kementerian Pertahanan berasal dari perusahaan Airbus.”
Di satu sisi, berdasarkan penelusuran, hanya ada perusahaan Navayo Group yang memiliki situs resmi.
Situs itu menyebutkan, Navayo tercatat sebagai perusahaan IT security dan jasa sambungan satelit yang berkantor di St Luzi-Strasse 43, Liechtenstein.
Pada 2015, Navayo bersama dengan perusahaan Hungarian Exsport Credit Insruance PTE LTD ditunjuk sebagai vendor Kementerian Pertahanan untuk sewa satelit guna mengisi kekosongan di slot orbit 1230 BT.
Sewa tersebut kemudian bermasalah karena diduga terdapat praktik korupsi. Kemhan kemudian memilih untuk tidak membayar biaya sewa.
Navayo AG dan Hungarian Exsport Credit Insruance PTE LTD lalu mengajukan gugatan pada 2018 di ICC Singapura.
Gugatan dua perusahaan tersebut pun dikabulkan dengan putusan bahwa Kementerian Pertahanan harus membayar USD 103 juta.
Navayo dan Hungarian Exsport Credit Insruance PTE LTD kemudian melayangkan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar Kementerian Pertahanan melaksanakan putusan ICC Singapura. Permohonan itu juga dikabulkan PN Jakpus.
(Red)