ABC NEWS – Paket kiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo pada Rabu (20/3) sekitar pukul 16,15 WIB adalah bentuk dari tradisi teror yang dilakukan oleh mafia atau kelompok kejahatan terorganisir.
Hal itu diungkapkan pemerhati intelijen Sri Radjasa Chandra kepada redaksi ABCNews.co.id, Minggu (23/3).
Kata dia, “Pengiriman kepala binatang yang terpenggal, mengisyaratkan simbol kemarahan pelaku dan warning akan terjadi aksi balas dendam.”
Bahkan, ungkap Radjasa, diduga kuat aksi teror sebelumnya kepada jurnalis Tempo dengan memecah kaca mobil, memiliki korelasi dengan aksi teror kepala babi dan dilakukan oleh pihak yang sama.

Terbaru, Tempo pada kemarin, Sabtu (22/3), kembali menerima paket tidak wajar berupa bangkai tikus yang telah dipenggal.
Ini merupakan teror kedua setelah sebelumnya menerima paket berisi potongan kepala babi.
Radjasa bilang, “Motif dari aksi teror tersebut sama sekali tidak terkait persoalan pribadi, tapi lebih kepada pekerjaan jurnalistik yang bersinggungan dengan pemberitaan yang melibatkan pejabat negara atau tokoh tertentu.”
Menurut Radjasa, kasus teror yang menimpa jurnalis Tempo, harus disikapi serius, karena memiliki tujuan untuk meredam kerja jurnalis kritis.

Radjasa meminta pihak kepolisian harus mampu mengungkap pelakunya, karena jika tidak ada upaya pihak kepolisian, akan menjadi preseden buruk terulangnya kasus teror dengan modus kekerasan fisik.
Komentar Radjasa, “Perlu dicermati oleh pihak kepolisian, tidak tertutup kemungkinan aksi teror terhadap Tempo, menggunakan jasa kolompok kriminal terorganisasi.”
Di sisi lain, sejumlah literasi menulis bahwa yang dimaksud dengan teror dapat dianalisis sebagai tindakan yang menimbulkan ketakutan dan kekacauan, seringkali dengan tujuan politik, dan dapat dipahami melalui lensa etika, politik, dan ontologi.
Filsafat etika mempertanyakan legitimasi penggunaan kekerasan dan teror sebagai sarana untuk mencapai tujuan, serta implikasi moral dari tindakan tersebut.
Apakah tindakan teror dapat dibenarkan, bahkan jika bertujuan untuk mencapai kebaikan?
Kemudian, filsafat politik menganalisis teror sebagai fenomena yang mengganggu stabilitas dan legitimasi negara, serta dampaknya terhadap hak-hak warga negara dan demokrasi.
Sisi ontologi menpertanyakan esensi dan makna teror, serta hubungannya dengan realitas dan eksistensi manusia.
Apakah teror merupakan fenomena yang inheren dalam sifat manusia, ataukah merupakan produk dari kondisi sosial dan politik tertentu?
Filsuf Michel Foucault menyoroti bagaimana kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga dapat menciptakan ‘teror’ melalui mekanisme pengawasan dan kontrol yang halus.
Sementara Georg Wilhelm Friedrich Hegel menganalisis revolusi sebagai proses dialektis yang dapat melibatkan kekerasan dan teror sebagai bagian dari transformasi sejarah.
Sedangkan Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialisme, mencoba memahami perilaku terorisme dalam perspektif eksistensialisme, menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan kebermaknaan hidup.
(Red)