ABC NEWS – Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus adalah nama koalisi yang dibentuk dalam kontestasi Pilkada 2024.
Koalisi tersebut merupakan perluasan dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang sebelumnya mendukung pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2024.
KIM Plus dibentuk atas inisiasi Prabowo Subianto. Tujuannya untuk menggabungkan partai-partai politik yang sebelumnya saling bertarung di Pilpres 2024.
KIM Plus terdiri dari 10 partai politik anggota KIM dan beberapa parpol di luar koalisi tersebut.
Anggota asli KIM adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Gelora, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, Partai Rakyat Adil Makmur, dan Partai Keadilan dan Persatuan.
Koalisi bertambah dengan bergabungnya Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Perindo, Partai Buruh, dan Partai Ummat.
Penambahan koalisi tersebut disebut dengan KIM Plus. Menurut Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro beberapa waktu lalu, KIM Plus dibentuk demi memudahkan Prabowo-Gibran memimpin, sehingga pola pikir keberlanjutan bisa juga berjalan di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten.
Jika dihitung secara kursi di DPR, anggota KIM Plus yang memiliki kursi di parlemen hanya ada tujuh partai.
Mereka adalah Partai Golkar dengan 102 kursi, Partai Gerindra (86 kursi), Partai Amanat Nasional (48 kursi), Partai Demokrat (44 kursi), Partai NasDem (69 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (68 kursi), dan Partai Keadilan Sejahtera (53 kursi).
Total ketujuh partai tersebut memiliki 470 kursi di parlemen. Kini hanya PDI Perjuangan yang memiliki 110 kursi yang tidak bergabung di KIM Plus dan bisa dikatakan sebagai ‘partai oposisi’.
Sebagian pihak menilai, dukungan Megawati dan PDI Perjuangan sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR memang dibutuhkan Prabowo.
Kondisi tersebut bisa mengurangi disrupsi di parlemen dalam proses pembuatan kebijakan yang diinisiasi pemerintah.
Di sisi lain, bagi sebagian orang, dukungan PDI Perjuangan dan rencana pertemuan Prabowo dengan Megawati justru akan berbahaya bagi demokrasi.
Pasalnya, jika pertemuannya sebatas pertemuan simbolis, memang bisa berdampak baik karena dapat menunjukkan stabilitas politik di Indonesia.
Berbeda jika dalam pertemuan tersebut terjadi kesepakatan-kesepakatan antara Prabowo dan Megawati. Hal itu akan menjadi kabar buruk bagi demokrasi.
Sebab, oposisi yang memiliki suaran di parlemen bisa dipastikan akan ‘mati’ dalam pemerintahan Prabowo.
Sekedar informasi, pertemanan Megawati dan Prabowo sudah terjalin saat menyelamatkan Prabowo dari status stateless atau warga tak bernegara.
Megawati yang saat itu menjabat presiden kelima Indonesia memarahi menteri Luar Negeri dan panglima TNI karena membuat Prabowo terlantar.
Prabowo sempat mengasingkan diri ke Yordania setelah berhenti dari dinas di TNI pada 1998, usai reformasi.
“Saya marah sebagai presiden. Siapa yang membuang beliau stateless? Ini saya bukan cari nama. Tanya kepada beliau. Tidak. Saya marah pada Menlu. Saya marah pada Panglima,” katanya dalam dalam Presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019.
Meski bertentangan di Pilpres 2024, pertemuan Megawati dan Prabowo pada tahun ini hanya menunggu momentum.
Sebab, kata Puan Maharani, baik Megawati maupun Prabowo sama-sama ingin bertemu.
“Insya Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Silaturahmi itu selalu bisa dilakukan,” kata Puan di Gedung DPR/DPD/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (25/3).
Jika pertemuan antara Prabowo dan Megawati benar-benar terwujud lalu bagaimana nasib Joko Widodo (Jokowi)?

Belum lagi jika masuk nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam agenda pertemuan tersebut minus Jokowi.
Maka, nasib politik Jokowi disinyalir hanya tinggal menunggu momentum arah politik dari Partai Golkar.
Bila pertemuan Prabowo, Megawati, dan SBY terealisasi dan menghasilkan ‘kesepakatan politik’, maka apakah Jokowi akan mengalami peristiwa lame duck?
Lame duck adalah sebuah istilah dalam politik di mana penguasa yang kehilangan pengaruh dalam momen-momen terakhir masa jabatannya, dan setelahnya.
Kita tunggu akhir ceritanya bersama. Sebab dalam politik ada adagium tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan abadi.
Prabowo kini telah menjadi presiden selama beberapa bulan. Apakah ‘kepentingannya’ dengan Jokowi sudah usai dan memilih kembali berkawan dengan Megawati?
Mari kita tunggu bersama apa langkah politik Prabowo selanjutnya. Apakah memilih Megawati atau tetap berkongsi dengan Jokowi.
(Red)