ABC NEWS – Kasus sengketa tanah yang melibatkan antara ‘penguasa’ dengan rakyatnya kembali terjadi.
Kali ini terjadi di wilayah Kota Tangerang, Banten. Kasus ini bermula saat seseorang bernama Tjimah Tipis meminjamkan sebidang tanah kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang.
Sebidang tanah seluas 1.686 m2 itu dipinjamkan Tjimah Tipis untuk keperluan belajar mengajar SDN Panunggangan 3.
Saat ini di gedung tersebut sudah tidak ada aktivitas belajar mengajar. Dinas Pendidikan Kota Tangerang telah memindahkan kegiatan belajar mengajar sejak 2014-2015 dari SDN Panunggan 3 ke SDN Panunggangan 11 dan 5.
Dokumen kepemilikan tanah itu berdasarkan Buku C Desa/Kelurahan Panunggangan Timur, Nomor: 1333, Persil 92, Klas D III atas nama Tjimah Tipis, yang terletak di Kp Kelapa RT 003/RW 01, Kelurahan Panunggangan Timur dahulu Kelurahan Panunggangan, Kecamatan Pinang dahulu Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Seiring berjalannya waktu, kemudian Pemkot Tangerang memindahkan SDN Panunggangan 03 ke lahan milik Pemkot Tangerang
Seiring berjalannya waktu, Pemko Tangerang memindahkan SDN Panunggangan 03, ke lahan milik Pemko Tangerang.
Ironi, alih-alih pemilik tanah mendapat ucapan terimakasih dari Pemkot Tangerang, justru pihak lurah Panunggangan Timur mengajukan gugatan atas tanah tersebut, tanpa disertai dengan dokumen kepemilikan tanah.
Hasilnya, gugatan lurah Panunggangan Timur itu dibatalkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) Nomor 589 PK/PDT/2020, tanggal 22 September 2020.
Pemerhati kebijakan publik Sri Radjasa Chandra dalam keterangannya dikutip Kamis (10/4), mengungkapkan, ternyata upaya penyerobotan tanah rakyat dengan modus praktik mafia tanah tidak berhenti sampai disitu.
Kata Radjasa, “Kembali para oknuk dan mafia itu mengajukan gugatan terhadap objek yang sama, tetapi melalui subjek berbeda.”
Komentar dia, “Lagi-lagi modus mafia tanah gagal, sebab gugatan dibatalkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor: 1441 PK/PDT/2024, diputus tanggal 16 Desember 2024.”
Secara lantang Radjasa bicara bahwa hukum di negara ini tampaknya lebih kejam dibanding hukum kolonial Belanda, karena selalu memberi ruang kepada para oligarki, orang kaya dan mafia tanah.
Tegas Radjasa bicara, “Tanpa rasa hormat terhadap putusan hukum MA, oknum yang mengatas namakan Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Kota Tangerang kembali melayangkan gugatan terhadap objek yang sama, sekalipun jauh sebelumnya sudah diterbitkan surat Penetapan Eksekusi Nomor: 196/Pen.Eks/2019/PN.Tng; tanggal 19 November 2019.”
Sudah bisa kembali ditebak, lanjut Radjasa, gugatan Kadis Pendidikan Kota Tangerang, kembali dibatalkanberdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 1448/Pdt.G/2023/ PN.Tng, diputus tanggal 29 Oktober 2024 dan Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor: 283/PDT/2023/PT.BTN, diputus tanggal 21 Januari 2025.
Radjasa menilai, bercermin dari kasus di atas, sudah saatnya Presiden Prabowo Subianto bersikap lebih keras terhadap sepak terjang para mafia tanah yang berlindung di balik kekuasaan daerah.
“Rakyat menuggu implementasi kebijakan Presiden Prabowo, bukan sekedar retorika belaka. Kepada Presiden Prbowo, inilah realita yang dihadapi rakyat kecil, di negara yang bapak pimpin, selalu tersisih untuk memperoleh keadilan demi mempertahankan haknya,” ujar pria yang pernah berprofesi sebagai intelijen ini.
(Red)