ABC NEWS – Indonesia saat ini memiliki 14 proyek smelter mineral terintegrasi dengan total nilai investasi USD 8,69 miliar atau setara Rp 142,77 triliun (kurs Rp 16.429,70).
Data Kementerian ESDM menunjukan, proyek smelter tersebut didominasi sektor bauksit.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno, dalam rapat bersama Komisi XII DPR di Jakarta, baru-baru ini menjelaskan, ke-14 proyek smelter terintegrasi tersebut terdiri atas delapan proyek yang masih berproses (on going) dan enam proyek eksisting.
Rinciannya, enam proyek smelter bauksit terintegrasi yang sedang on going dengan nilai investasi USD 2,18 miliar atau Rp 35,82 triliun.
Kemudian, lima proyek smelter nikel terintegrasi yang terdiri atas satu proyek on going dan empat ptoyek eksisting dengan total nilai investasi USD 2,54 miliar atau Rp 41,63 triliun.
Sisanya adalah satu proyek smelter besi terintegrasi yang on going senilai USD 46,6 juta atau Rp 765,62 miliar dan dua smelter tembaga terintegrasi eksisting dengan nilai USD 3,92 miliar atau Rp 64,4 triliun.
Menurut Tri, dari sisi produksi, komoditas bauksit mencapai puncak optimalnya pada 2023 dengan capaian produksi sebanyak 21,8 juta ton.
Namun, satu tahun setelahnya, produksi bauksit Indonesia anjlok akibat penerapan kebijakan larangan ekspor bauksit yang telah dicuci (washed bauxite) sejak Juni 2023.

Kata Tri, “Kemungkinan pada 2025 ada penambahan produksi lagi karena ada beberapa smelter yang sudah mulai terbangun seperti PT Borneo Alumina Indonesia dan ekspansi WHW Alumina, sehingga kemungkinan ada penambahan.”

Keterangan dia, meskipun bauksit mendominasi proyek smelter terintegrasi di Indonesia, ia tidak menampik enam proyek smelter di sektor bauksit itu masih berjalan lambat atau di bawah 60 persen hingga saat ini.
Contohnya, lima proyek di antaranya terkendala masalah pencarian investor untuk pendanaan, sedangkan satu lainnya akibat isu izin usaha pertambangan (IUP) yang dicabut.
(Red)