ABC NEWS – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 11 April 2025 saat melakukan konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, sempat menyebut nama Adi Munandir dalam kasus korupsi jual beli gas antara PT PGN Tbk dan PT Inti Alasindo Energi (IAE) periode 2017-2021.
Nama Adi disebut langsung oleh Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur ketika mengumumkan penahanan terhadap dua tersangka dalam kasus tersebut, yakni mantan Komisaris IAE Iswan Ibrahim dan mantan Direktur Komersial Danny Praditya.
Kata Asep, “Bahwa pada Agustus 2017, tersangka DP (Danny Praditya) memerintahkan Adi Munandir selaku Head of Marketing PGN untuk melakukan paparan kepada para trader gas antara lain PT Isar Gas, guna menawarkan trader-trader gas tersebut sebagai local distribution company (LDC) PGN.”
Keterangan Asep waktu itu, kasus tersebut berawal pada 19 Desember 2016, saat Dewan Komisaris dan Direksi mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PGN 2017.
RKAP tersebut ternyata di dalamnya tidak terdapat rencana pembelian gas dari IAE. Namun, IAE ternyata memperoleh alokasi gas dari Husky-CNOOC Madura Limited dengan rencana penyerapan pasca realokasi sementara ke PT Petrokimia Gresik sebesar 10 MMscfd pada 2017, 15 MMscfd pada 2018, dan 40 MMscfd pada 2019.
Asep melanjutkan, “Kemudian, pada 31 Agustus 2017, Adi menjalankan perintah DP untuk menghubungi S selalu direktur IAE, terkait kerja sama pengelolaan gas.”
Dia menambahkan, “Selanjutnya pada 5 September 2017 DP memerintahkan Adi melakukan pertemuan dengan Isar Gas di kantor PGN, yang membahas lebih lanjut rencana kerja sama penjualan dan distribusi gas.”
Adi Munandir sudah beberapa kali dipanggil KPK untuk diminta keterangan, misalnya pada medio Juni 2024, lalu Januari 2025, dan pada Mei 2025.
Lalu, siapakah sebenarnya sosok Adi Munandir tersebut? Berikut profil singkatnya.
Adi Munandir lulusan Sarjana Teknik Elektro dari Universitas Indonesia (2003) dan Magister Sains Manajemen di Universitas Indonesia (2013).
Catatan menunjukan, Adi lumayan lama berkarier di PGN. Pada kurun waktu 2014 hingga 2015, Adi duduk sebagai executive officer di departemen Strategic Management Office PGN.
Kariernya perlahan mulai naik, di mana pada 2015 hingga 2016 dia dipercaya sebagai Head of Strategic Management Division PGN.
Kemudian pada 2016 hingga 2018 kariernya terus melesat hingga bisa duduk sebagai Group Head of Marketing PGN.

‘Dekat’ dengan Hendi Prio
Berikutnya, pada 30 April 2018, Adi Munandir terpilih menjadi direktur Pemasaran dan Supply Chain PT Sement Indonesia Tbk dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST).
Kala itu Adi menggantikan posisi Ahyanizzaman. Beredar rumor, cepatnya karier Adi di PGN bahkan hingga menjadi direksi di Semen Indonesia tidak lepas dari peran Hendi Prio Santoso.
Perlu diketahui, Hendi Prio cukup lama duduk sebagai dirut PGN Tbk, yakni dalam kurun 2008-2017.
Lamanya Hendi Prio berkuasa di PGN membuat dia disebut-sebut sangat power full di BUMN tersebut.
Kabar burung berhembus, bahwa siapun kala itu karyawan atau pegawai PGN yang dekat dan loyal dengan Hendi Prio akan mendapat jabatan strategis dan karier yang bagus.
Ada kemungkinan Adi Munandir termasuk bagian dari ‘loyalis’ Hendi Prio Santoso.
Rumor itu semakin mendekati kebenaran saat Hendi Prio duduk sebagai dirut Semen Indonesia pada 2017-2021.
Hanya butuh setahun Hendi Prio di Semen Indonesia sebelum dia akhirnya bisa menarik Adi Munandir ikut di dalam jajaran direksi Semen Indonesia.
Perlu diketahui saat Hendi Prio menjabat cukup lama sebagai dirut PGN, sejumlah pro kontra terus bermunculan.
Nama Hendi juga sempat disebut-sebut dalam sejumlah kasus yang ada di PGN. Misalnya, kasus Blok Muriah, Jawa Tengah, yang konon diduga merugikan PGN hampir Rp 1 triliun.
Dugaan kerugian itu terjadi dalam proses akuisisi 20 persen participating interest (PI) PT Saka Energi Indonesia terhadap Lapangan Kepodang, Blok Muriah, Jawa Tengah dari Sunny Ridge Offshore Limited (SROL) pada 16 Desember 2014.
Akuisisi tersebut diduga atas perintah PGN dan tidak memotong pajak dari SROL, dan kondisi itu konon membuat Saka Energi harus menanggung pajak penjualan hingga USD 127,7 juta.
Penyimpangan pada proyek investasi ini dilakukan antara dua pihak, yaitu Saka Energy Exploration Production BV (SEEPBV) dan Sunny Ridge Offshore Limited (SROL).
Pada Desember 14, SEEPBV melakukan pembayaran ke rekening SROL di Bank DBS Singapura, dan pada Januari 2015 berupa cash call payment ke SROL.
Setelah transfer dana dilakukan, pada Maret 2015, Deloitte melakukan valuasi. Nilai yang diperhitungkan dihitung hingga 2026. Padahal, per 2020, Lapangan Kepodang sudah berhenti produksi.
Hendi juga pernah dicekal Kejaksaan Agung saat masih di PGN, terkait dugaan kasus korupsi proyek pembangunan Float Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung senilai USD 400 juta.
Proyek FSRU di Lampung ini sebetulnya proyek kedua yang dilakukan setelah PGN sukses mengembangkan FSRU di Jawa Barat.
Terminal yang dibangun oleh Hyundai Heavy Industri Korea ini berlokasi di Labuhan Maringgai, Lampung dengan kapasitas penyimpanan LNG sebesar 170 ribu m3 dan batas pengiriman mencapai 240 juta kaki kubik gas per hari (MMFSCD).
Awalnya, FSRU ini direncanakan dibangun di Belawan, Medan, namun kemudian dipindahkan ke Lampung.
Terminal ini telah dioperasikan sejak November 2014 oleh anak usaha PGN, PT PGN LNG (PLI) yang didirikan pada Juni 2012.
Sumber gas alam untuk FSRU ini berasal dari kilang di Indonesia Timur yaitu Blok Tangguh. Sementara fasilitas FSRU disewa dari perusahaan patungan antara PT Rekayasa Industri (Rekin) dengan Hoegh, perusahaan konstruksi asal Norwegia.
Kontrak sewa ini berlangsung selama 20 tahun dengan opsi perpanjangan untuk dua periode masing-masing 5 tahun.
PGN mulai menjual 49,68 MMscfd gas hasil regasifikasi dari FSRU Lampung ke PLN yang dialirkan ke PLTGU Muara Tawar Bekasi pada November 2014.
Namun per Januari 2015, kontrak jual beli gas itu tidak dilanjutkan. PLN yang kala itu berkomitmen menyerap gas dari FSRU Lampung untuk kebutuhan pembangkit listriknya menginginkan renegosiasi pembelian harga gas yang dianggap kemahalan.
Rendahnya harga minyak dunia membuat harga gas yang telah disepakati di awal menjadi lebih mahal dibandingkan bahan bakar minyak dan batu bara sehingga PLN meminta renegosiasi.
Akibatnya selama tujuh bulan FSRU Lampung ‘mangkrak’ padahal biaya sewa tetap dikenakan. Penghentian penyerapan gas oleh PLN ini memicu ambrolnya volume penyaluran gas dari FSRU Lampung menjadi 3.943.799 MMBtu sepanjang 2015.
Padahal pada 2014 hanya dalam periode November-Desember volume penyaluran dapat mencapai 6.606.516 MMBtu.
(Red)