ABC NEWS – Pernyataan Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arsal Ismail yang seakan tidak mendukung program dimethyl ether (DME) dari hasil gasifikasi batu bara yang dicanangkan pemerintah terlihat ironi.
Pasalnya, proyek gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan tersebut telah ditetapkan menjadi proyek strategis nasional (PSN).
Bahkan, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa gasifikasi batu bara menjadi DME menjadi proyek terbesar dari 21 proyek hilirisasi tahap awal tahun ini.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno mengungkapkan, nilai investasi 21 proyek itu mencapai USD 40 miliar atau setara Rp 656,23 triliun (asumsi kurs Rp 16.405).
Sedangkan biaya investasi untuk proyek DME mencapai USD 11 miliar atau Rp 180,36 triliun.
Namun, sebelumnya manajemen PTBA yang diwakili Arsal Ismail mengklaim adanya risiko pembengkakan subsidi sebesar Rp 41 triliun per tahun jika DME dari hasil gasifikasi batu bara menyubstitusi subsidi energi untuk gas minyak cair (liquefied petroleum gas/LPG).
Klaim Arsal baru-baru ini, estimasi harga DME yang akan dihasilkan oleh PTBA ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi keekonomian pemerintah.
Berdasarkan hasil kajian konsultan PTBA yakni Ernst & Young (EY), harga produksi DME yang dihasilkan di dalam negeri mencapai USD 911 per ton hingga USD 987 per ton atau lebih tinggi dari asumsi pemerintah sebesar USD 617 per ton.
Arsal baru-baru ini di hadapan anggota parlemen menyatakan proyek DME masih terkendala sehingga butuh kajian yang mendalam.
Faktor keekonomian disebut Arsal menjadi penghambat utama dari proyek itu. Kata dia, “Nah hanya untuk DME memang kami perlu dilakukan kajian yang sangat mendalam.”
Dia melanjutkan, “Karena di samping investasinya besar, itu juga harus benar-benar memberikan nilai tambah yang buat bangsa dan negara ini.”
Perlu diketahui, DME digadang-gadang dapat menjadi substitusi LPG, karena impor komoditas tersebut yang terus naik dari tahun ke tahun.
Arsal juga menjelaskan soal kondisi infrastruktur, seperti jalur distribusi maupun perangkat kompor rumah tangga supaya bisa kompatibel dengan produk DME.
Elak dia, “Jaraknya itu kurang lebih 172 km, serta perlu kesiapan jaringan niaga dan distribusi bahan bakar alternatif ini secara luas.”
Pernyataan tersebut sontak membuat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia geram.
Bahkan Bahlil mengancam akan mengambil sebagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PTBA jika tidak menjalankan penugasan dari pemerintah terkait proyek gasifikasi batu bara menjadi DME.
Kegeraman Bahlil juga beralasan, sebab hingga kini proyek hilirisasi batu bara menjadi DME belum juga terealisasi.
Kata Bahlil, Kamis (8/5), “Nanti kita akan kasih tugas, Kalau tidak kasih tugas Kita ambil sebagian wilayahnya.”
Bahlil pun merespon terkait rencana PTBA mengembangkan hilirisasi selain DME, yakni synthetic natural gas (SNG), artificial graphite, anoda sheet, hingga asam humat.
Penegasan Bahlil, arah kebijakan hilirisasi batu bara ini ditentukan oleh Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi dan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM.
Artinya PTBA harus mengikuti arahan pemerintah terkait hilirisasi.
Di sisi lain, PTBA kembali buka suara soal ultimatum Bahlil Lahadalia, yang akan mengambil sebagian WIUP perseroan jika tidak menjalankan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME.
Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra mengungkapkan, pengembangan proyek hilirisasi batu bara, termasuk DME, merupakan bagian dari inisiatif strategis nasional untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya dan ketahanan energi nasional.
Niko menyebut pemerintah mendorong seluruh industri pertambangan termasuk PTBA, untuk berperan aktif dalam program-program hilirisasi ini.
Komentar dia, “PTBA sebagai salah satu perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung program hilirisasi guna memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan bangsa.”
Namun, Niko tidak mengelaborasi apakah sebenarnya perseroan masih diwajibkan pemerintah untuk melanjutkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME atau tidak.
Perseteruan antara regulator, dalam hal ini Kementerian ESDM, dengan operator, yakni PTBA, terkait DME bisa jadi terus berlanjut.
Pertanyaannya kemudian, jika seorang dirut PTBA berani pasang badang menolak kebijakan yang sudah ditetapkan pemerintah, ini akan menjadi preseden tidak baik bagi BUMN lainnya.
Wibawa pemerintah, yang dalam hal ini diwakili Kementerian ESDM, saat ini dipertaruhkan.
Namun, jika Arsal Ismail, dan jika direksi PTBA lainnya juga menolak program DME, lebih elok jika Arsal dan kawan-kawan (dkk) segera mengundurkan diri dari kursi direksi PTBA, tanpa harus berkonfrontasi langsung dengan pemerintah.
Kita tunggu saja perkembangan tersebut di atas. Apakah Arsal dkk mengundurkan diri atau terus akan menentang kebijakan Bahlil Lahadalia?
(Red)