ABC NEWS – Adanya alasan keberatan manajemen PT Pertamina (Persero) atas rencana pemerintah untuk merealokasi impor migas ke Amerika Serikat (AS) tidak bisa diterima oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Realokasi impor minyak ke negeri Paman Sam tersebut merupakan bagian dari upaya negosiasi untuk meredam dampak tarif resiprokal Presiden Donald Trump.
Bahlil merespons pernyataan Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri yang menyebut terdapat sederet risiko yang akan dihadapi perseroan jika harus mengemban tugas impor migas lebih banyak dari AS.
Bahlil di kantor Kementerian ESDM, Jumat (23/5), secara lantang bilang, “Enggak ada alasan, toh elpiji kita juga kan kita impor dari Amerika, 59 persen dari total impor elpiji nasional. Enggak ada soal.”
Sebelumnya, saat rapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (22/5), Simon berkomentar, Pertamina pada dasarnya mendukung upaya negosiasi pemerintah.
Namun, lanjut dia, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi perseroan jika harus mengimpor minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), dan elpiji lebih banyak dari AS.
Kata Simon, “Menindaklanjuti rencana peningkatan porsi impor migas dari AS ini tentu tidak lepas dari berbagai tantangan teknis dan risiko yang harus dipertimbangkan secara matang.”
Penjelasan Simon, tantangan dan risiko tersebut mencakup aspek logistik, distribusi, serta kesiapan infrastruktur hingga aspek keekonomian untuk mitigasi risiko yang dapat mengganggu ketahanan energi nasional.
Kata Simon, “Risiko utama adalah dari sisi jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih panjang yaitu sekitar 40 hari dibandingkan dengan sumber pasokan dari Timur Tengah ataupun negara Asia.”
Menurut Simon, pihaknya saat ini sedang melakukan kajian komprehensif mencakup aspek teknis, komersial, dan risiko operasional. Tujuannya, guna memastikan skenario peningkatan suplai migas dari AS dapat dieksekusi secara efektif.
Simon berkata, “Selain itu juga, kami memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk payung hukum, baik melalui peraturan presiden maupun peraturan menteri, sebagai dasar pelaksanaan kerja sama suplai energi bagi Pertamina.”
(Red)