ABC NEWS – Cadangan tertakar nikel Indonesia ditaksir hanya cukup sembilan hingga 13 tahun ke depan.
Minimnya cadangan nikel tersebut bisa berimplikasi terhadap makin tingginya impor bijih nikel untuk program hilirisasi.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli di Jakarta, Senin (6/2).
Menurut Rizal, smelter nikel, khususnya pirometalurgi atau yang berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF), membutuhkan nikel dengan kadar tinggi di atas 1,5 persen atau saprolit.
Kata dia, “Cadangan kita, itu kalau dihitung, beberapa ahli menyatakan antara 9-13 tahun daya tahannya. Itu bukan waktu yang lama.”
Komentar Rizal, “Kita belum apa-apa sudah pensiun. Habis sudah. Kalau menurut saya, karena smelter itu banyak sekali dibangun, 100 lebih, bahkan 144 terakhir.”
Keterangan dia, adanya pertumbuhan investasi smelter RKEF yang terlalu pesat, berbanding lurus dengan permintaan yang tinggi terhadap nikel saprolit untuk bahan baku baja nirkarat.
Di satu sisi, imbuh Rizal, cadangan nikel saprolit terus menipis lantaran tidak diimbangi dengan upaya eksplorasi di wilayah-wilayah greenfield dan frontier untuk mempertebal daya tahan cadangan tertakar domestik.
Dia bilang, “Perusahaan-perusahaan besar seperti Vale atau Antam, memang dia akan survive karena areal luas. Cadangannya banyak.”

Rizal melanjutkan, “Tapi yang kecil-kecil, apalagi smelter yang tidak terintegrasi dengan tambangnya, itu akan riskan.”
Data Kementerian ESDM menyebutkan, total cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton dan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024.
Wilayah Maluku Utara menjadi provinsi dengan jumlah cadangan yang paling banyak. Rinciannya, 60 persen adalah cadangan saprolit dan 40 persen limonit.
Sementara total sumber daya bijih nikel adalah 18,55 miliar ton dan total sumber daya logam nikel adalah 184,6 juta ton.
Rizal berkomentar, kalangan pakar pertambangan sudah pernah merekomendasikan moratorium pembangunan smelter RKEF baru kepada pemerintah.
Jika tidak dilakukan moratorium, cadangan nikel kadar tinggi di Tanah Air akan makin cepat habis.
Terpisah, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa upaya eksplorasi sumber cadangan bijih nikel kerap terbentur ruwetnya perizinan, mulai dari izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) hingga rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin menjelaskan, di wilayah Papua, Sulawesi, dan Maluku Utara masih banyak harta karun nikel yang belum dibuka karena masih terganjal IPPKH dari Kementerian Kehutanan.
Kata dia pekan lalu, “Coba kita berani, mau gali? Kan tidak mungkin. Langsung disegel duluan kita.”
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.
Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62 persen), Filipina (8 persen), dan New Caledonia (6 persen).
(Red)