ABC NEWS – Ternyata di dalam perdagangan minyak internasional, tidak terdapat produk gasoline dengan nilai/tingkat oktan (Research Octane Number/RON) 90.
Hal tersebut diungkap sumber ABCNEWS.co.id yang mengetahui seluk beluk bisnis di subholding PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Patra Niaga, di Jakarta, Jumat (28/2).
Kata sumber, “Tidak ada kilang diseluruh dunia yang memproduksi gasoline RON 90. Namun, Indonesia memiliki kebutuhan akan impor RON 90 dan RON 92.”
Sumber lalu bilang, “Oleh karena itu, Patra Niaga secara rutin membuka tender untuk RON 90 di pasar internasional, meskipun tidak melakukan tender untuk RON 92.”
Sumber mengungkapkan, “Meskipun tidak ada kilang yang memproduksi RON 90, banyak trader minyak yang tetap berpartisipasi dalam tender tersebut.”
Komenter sumber, “Hal ini disebabkan oleh selisih harga sangat kecil antara RON 92 dan RON 90 yang ditentukan berdasarkan rumus Harga Indeks Pasar (HIP) dari Kementerian ESDM.”
Sumber kemudian menjelaskan, menurut rumus tersebut, HIP Pertalite adalah 99,21 persen dari HIP Pertamax, atau rata-rata selisih harga Pertamax terhadap Pertalite adalah Rp 80.
Namun, lanjut sumber, semua trader yang memenangkan tender akan mengirimkan RON 92 kepada Patra Niaga dengan harga yang setara dengan RON 90.
Pernyataan sumber tersebut mengacu kepada Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 256.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang Perhitungan Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Minyak.
Kepmen itu di dalam poin satu butir ketiga tertulis; jenis Bensin (Gasoline) RON 90, didasarkan pada harga publikasi MOPS atau Argus jenis Gasoline 92 dengan perhitungan 99,21% (sembilan puluh sembilan koma dua puluh satu persen) kali MOPS atau Argus jenis Gasoline 92.
Sumber berkata, “Ketika kargo gasoline tersebut tiba di terminal minyak Pertamina, pihak bea cukai hanya memeriksa data jenis barang yang tercantum dalam Bill of Lading (B/L), yang menyatakan bahwa kargo tersebut adalah gasoline RON 90.”
Namun kenyataannya, imbuh sumber, kargo yang dikirimkan adalah RON 92. Kemudian, berdasarkan informasi dari bea cukai, gasoline yang terdaftar sebagai RON 90 ini kemudian dianggap sebagai Pertalite, sehingga berhak menerima subsidi dalam bentuk kompensasi sebesar Rp 1.700 per liter.
“Kargo gasoline tersebut kemudian di-dyes sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk Pertalite, warna yang digunakan adalah hijau terang, sedangkan untuk Pertamax, warna yang digunakan adalah biru terang,” ungkap sumber.
Sumber kembali menerangkan, bahwa meskipun gasoline yang diimpor dan disubsidi sebenarnya adalah RON 92, produk tersebut diidentifikasi sebagai RON 90.
“Gasoline yang berwarna biru terang dijual ke SPBU dengan harga Pertamax, yang tentunya harganya lebih tinggi dibandingkan harga Pertalite,” jelas sumber.
Berdasarkan perhitungan si sumber, diperkirakan impor gasoline RON 92 mencapai 10 juta barel per bulan. Jika dari jumlah tersebut sebanyak lima juta barel diwarnai biru terang (Pertamax), maka total uang kompensasi atau subsidi yang diduga menguap sekitar Rp 1,35 triliun per bulan.
Perhitungannya, sebanyak lima juta barel dikalikan 159 liter (1 barel=159 liter) dikali dengan Rp 1.700, hasilnya maka Rp 1.351.500.000.000.
“Maka, dalam satu tahun kerugian bagi negara diperkirakan mencapai Rp 16,22 triliun. Jika situasi ini berlangsung selama lima tahun dari tahun 2018-2023, total kerugian negara dapat mencapai Rp 81,1 triliun,” ungkap sumber.
Sumber menambahkan, angka tersebut hanya mencakup kerugian dari impor gasoline RON 90 dan belum termasuk potensi kerugian akibat korupsi dalam impor minyak mentah, yang diperkirakan sekitar Rp 80 triliun.
Analisa sumber, total kerugian yang dialami negara bisa mencapai lebih dari Rp 160 triliun. Ini menunjukkan dampak signifikan dari praktik tidak transparan dalam sektor energi ini.
“Jadi, sebenarnya Pertalite maupun Pertamax yang sekarang beredar di SPBU adalah sama-sama RON 92,” tutup sumber.
(Red)