ABC NEWS – Ratusan sivitas akademika Universitas Gajah Mada (UGM) menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI).
Aksi dilakukan di Balairung Kampus Universitas UGM dan diikuti mahasiswa, dosen, karyawan, alumni UGM hingga kampus lain di Yogyakarta.
Mengenakan pakaian dengan nuansa gelap sebagai simbol keprihatinan, para peserta aksi secara bergantian menyampaikan orasi dan aspirasinya.
Mereka menolak RUU yang berpeluang kembalinya Dwifungsi ABRi seperti di era Orde Baru, di mana militer sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara selama 32 tahun.
Dosen Fakultas Hukum (FH) UGM Herlambang Wiratman dalam orasinya menyebutkan, RUU TNI ini mengikis supremasi sipil dalam demokrasi dengan memasukkan militer dalam jabatan-jabatan sipil.
Herlambang lantang bicara bahwa proses yang dilakukan pemerintah dan DPR sangat ugal-ugalan dan tidak mendengar partisipasi publik.
Menurut dia, dasar pembentukan RUU TNI pun tidak memiliki urgensi, utamanya saat ada 41 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ada daftar prioritas.
Komentar dia, “Kampus tidak akan tinggal diam saat ada penindasan. Kampus harus jaga reformasi, kampus tolak dwifungsi, tolak militerisme.”
Kritik serupa juga disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Achmad Munjid. Komentar dia, proses RUU TNI ini mencurigakan dan ada agenda untuk mengembalikan dwifungsi TNI yang dihapus pasca-Reformasi.

Achmad bilang, “Rakyat tidak boleh memberikan ruang untuk militer di ranah sipil dan mengajak masyarakat agar terus mengawal proses RUU TNI ini.”
Markus Togar Wijaya, mahasiswa FH UGM yang ikut berpartisipasi pada aksi tersebut turut menyampaikan pesan terhadap proses pembahasan RUU TNI.
Sebagai mahasiswa hukum, ia merasa proses yang dijalankan pemerintah saat ini mengkhianati hukum dan amanat reformasi.
“Sebagai mahasiswa, penting untuk mengawal proses hukum ini dan mengajak kepada masyarakat agar lebih sadar bahwa ada momentum penting yang perlu dikawal,” kata dia.
Aksi tersebut juga dihadiri Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid. Ia menyebut UII siap memberikan penolakan terhadap RUU TNI.
Penolakan ini disebut Fathul berdasarkan riwayat dwifungsi TNI yang sebelumnya berlaku di orde baru yang kemudian menghadirkan supremasi hukum dan represi terhadap sipil, sehingga menghasilkan berbagai bentuk kekerasan.
Pada aksi tersebut setidaknya ada lima tuntutan. Pertama, menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik karena hal tersebut merupakan kejahatan konstitusi.
Kedua, menuntut Pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati agenda reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri.
Ketiga, menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.
Keempat, mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan agenda reformasi.
Kelima, mendorong dan mendukung upaya Masyarakat Sipil menjaga Agenda Reformasi dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR.
(Red)