ABC NEWS – Tan Paulin, yang dikenal sebagai ‘Ratu Batu Bara’, adalah seorang pengusaha batu bara yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) PK terkait transaksi batu bara di wilayah Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim), dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Bupati Kukar Rita Widyasari.
Hingga kini Tan Paulin masih bisa melenggang bebas dan menghirup udara segar di alam terbuka. Tan adalah istri Irwantono Sentosa, pemilik PT Sentosa Laju Energy (SLS) yang beroperasi di sektor batu bara. SLS merupakan perusahaan yang bergerak di bidang angkut-jual batu bara.
Bisnis tambang Tan Paulin melibatkan keluarganya, termasuk suaminya Irwantono Sentosa, dan adiknya Denny Iryanto yang menjabat sebagai direktur di SLS.
Julukan ‘Ratu Batu Bara’ mencuat setelah Komisi VII DPR kala itu membahas praktik penjualan batu bara tersembunyi di Kalimantan Timur. Anggota Komisi VII DPR Muhammad Nasir sempat menyebut adanya ‘ratu batu bara’ asal Kaltim yang diduga terlibat dalam praktik tersebut.
KPK memeriksa Tan Paulin pada 29 Agustus 2024 di kantor BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Timur. Pemeriksaan tersebut terkait dengan transaksi batu bara perusahaannya di wilayah Kukar.
KPK memeriksa Tan Paulin sebagai saksi terkait transaksi batu bara di wilayah Kukar, yang diduga terkait dengan kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Rita Widyasari, mantan bupati Kukar.
KPK telah menyita uang senilai Rp 476 miliar terkait kasus korupsi yang menjerat Rita Widyasari. Uang ini disita dari sejumlah pihak.
Sebagai informasi, Rita awalnya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi pada 2017. Dia kemudian diadili dalam kasus gratifikasi.
Pada 2018, Rita divonis 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Rita juga dihukum membayar denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan dan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Hakim menyatakan Rita terbukti menerima gratifikasi Rp 110 miliar terkait perizinan proyek di Kutai Kartanegara. Rita mencoba melawan vonis itu.
Upaya Rita kandas setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pada 2021. Rita telah dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu.
Selain kasus gratifikasi, Rita masih menjadi tersangka kasus dugaan TPPU. Pada Juli 2024, KPK mengungkap Rita juga menerima duit dari pengusaha tambang.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pernahmengatakan, Rita mendapatkan gratifikasi dalam bentuk pecahan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Rita Widyasari memperoleh USD 3,3 hingga USD 5 per metrik ton dari perusahaan batu bara, termasuk dari SLS.
Rumah Tan Paulin di Surabaya juga digeledah oleh KPK terkait kasus ini, dan beberapa dokumen disita.
Di satu sisi, KPK usai melakukan penggeledahan dan pemeriksaan terhadap Tan Paulin beberapa waktu lalu, KPK hingga kini terkesan lambat dan seperti belum menindaklanjuti perkembangan kasus tersebut.
Namun hal itu sempat dibantah Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 30 Agustus 2024.
Saat itu Tessa menegaskan bahwa KPK tidak tebang pilih dalam melakukan pemeriksaan para saksi.
Komentar dia kala itu, “Ya tidak ada yang tidak akan tersentuh oleh KPK bila memang alat buktinya ada, hanya tinggal masalah waktu saja.”
Namun hingga kini nama Tan Paulin seakan hilang ditelan bumi dalam kasus tersebut. Kenapa KPK belum menindaklanjuti adanya keterlibatan Tan Paulin?
Apakah KPK kekurangan barang bukti untuk menjerat Tan Paulin? Atau ada apa dengan KPK saat ini?
Gurita Bisnis
Tan Paulin dan suaminya Irwantono Sentosa, serta sang adik yang bernama Denny Iryanto tidak tanggung-tanggung ketika membangun bisnis batu bara mereka.
Melalui bendera SLS Group atau PT Sentosa Laju Sejahtera bisnis mereka Tan terus menggurita. SLS adalah perusahaan pertambangan dan kontraktor umum Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pertambangan mineral, batu bara, dan penggalian.
Situs resmi SLS menulis, SLS adalah anak perusahaan dari PT Sentosa Laju Energy (SLE), sebuah perusahaan perdagangan batu bara dengan volume perdagangan lebih dari delapan juta metrik ton per tahun.
Perusahaan itu juga melakukan operasional bersama (joint operation) untuk tambang nikel di Konawe Utara dengan Bosowa Group dengan luas area 201 hektare.
Tambang nikel itu memiliki cadangan bijih nikel sebesar lima juta ton dengan kadar rata-rata NI adalah 1,8 persen. Bentuk joint operation-nya adalah berbasis biaya.

SLE juga memiliki proyek di Pulau Kabaena, salah satu pulau di wilayah Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang juga bergerak di tambang nikel.
Nilai proyek di Kabaena ditaksir mencapai USD 72 juta, dengan cadangan nikel sekitar empat juta metrik ton.
Di satu sisi, bisnis SLS Group terbagi menjadi sejumlah bagian, seperti kontraktor, konstruksi, dan infratruktur. Kemudian, pertambangan batu bara.
Berikutnya, pertambangan kuari dan perdagangan serta pertambangan mineral dan perdagangan.
Ada sembilan perusahaan di bawah SLS Group yang bergerak di sektor kontraktor, konstruksi, dan infratruktur. Perusahaan-perusahaan itu adalah, PT Abyakta Kirana Mahakam (coal loading terminal), PT Artha Satya Karunia (trucking and logistic), dan PT Dermaga Anugerah Bersama (coal loading terminal).
Kemudian, PT Fath Jaya Utama (coal loading terminal), PT Isna Agung Permata (offshore floating terminal), PT Karunia Aman Sentosa (tug and barge), PT Sasmaka Lestari Karya (mining contractor), PT Sentosa Welindo Group (EPC and interior), dan PT Traktor Teknik Nusantara (dealership and spareparts).
Sedangkan untuk perusahaan yang bergerak di pertambangan batu bara, SLS Group memiliki enam perusahaan, yaitu PT Andrea Multi Energy, PT Bumi Barito, PT Berau Jaya Energy, PT Mahakam Multi Lestari, PT Tuah Globe Mining, dan PT Tawabu Mineral Resource.
Sementara untuk pertambangan kuari dan perdagangan, SLS Group hanya memiliki satu perusahaan bernama PT Sentosa Laju Bersama.
Begitu pun di sektor pertambangan mineral dan perdagangan. SLS Group hanya menggunakan bendera bernama PT Sentosa Laju Mineral.
Tersangkut Kasus
Ternyata bukan kali ini Tan Paulin bersentuhan dengan kasus hukum. Kasus bersama Rita Widyasari hanyalah salah satu saja.
Nama Tan Paulin pernah muncul dalam sengketa lahan tambang batu bara pada 11 Maret 2022. Kala itu ia dilaporkan ke Polda Kalimantan Timur oleh perusahaan bernama CV Anggaraksa.
Perusahaan itu menduga Tan Paulin melakukan penutupan jalan tambang batu bara di Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim.
Penutusan akses jalan itu, versi CV Anggaraksa, karena Tan Paulin mengklaim memiliki sebagian lahan di lokasi tambang tersebut.
Berdasarkan klaimnya, dari 127 hektare konsesi tambang milik CV Anggaraksa, sebanyak 65 bidang petak lahan di antaranya di klaim milik Tan Paulin.
Pada 7 Maret 2023, nama Tan Paulin kembali muncul dalam kasus perjanjian alih muat batu bara. Bahkan, nama mantan direksi dan karyawan PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI) juga ikut terseret.
Kasus itu bermula pada 2022, saat PT SLE milik Tan Paulin menyewa kapal floating crane barge Ben Glory milik PT IMC Pelita Logistik untuk proyek alih muat batu bara di perairan Muara Berau, Kaltim.
Perjanjian ini dituangkan dalam kontrak bernomor C/FLF/SLE/22-050 dan berlaku dari 1 September 2022 hingga 31 Agustus 2023.
Perjanjian itu diteken SLE melalui Denny Iryanto selaku direktur utama dan Tan Paulin selaku direktur, serta PT IMC melalui Iriawan Ibarat (terdakwa II) selaku direktur utama dan Harry Thjen (terdakwa III) selaku direktur komersial dan operasional.
Apesnya, pada Maret 2023, PT IMC secara sepihak menyewakan kembali kapal Ben Glory ke PT Dianta Daya Embara tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari SLE.
Terheboh adalah ketika nam Tan Paulin disebut dalam video pengakuan Ismail Bolong.
Ismail Bolong kala itu menyebut menyetor uang miliaran rupiah ke kepala Bareskrim Polri saat itu, Komjen Agus Andrianto.
Namun dalam klarifikasinya, Ismail Bolong membantah setoran uang ke kepala Bareskrim yang ketika itu dijabat Komjen Agus Andrianto.
(Red)