ABC NEWS – Nama Tan Paulin yang dijuluki ‘Ratu Batu Bara’ oleh sebagian publik dikenal cukup ‘sakti’.
Salah satu buktinya, hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menindaklanjuti temuannya soal kaitan Tan Paulin dalam kasus korupsi mantan Bupati Kutai KertanegaraRita Widyasari.
Padahal, pada 19 September 2024 Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu pernah menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap Direktur Utama PT Sentosa Laju Energy Tan Paulin dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di kasus tersebut.
Pemeriksaan kepada Tan Paulin, terang Asep kala itu, mengusut aliran uang dari Rita Widyasari dalam pengurusan izin tambang batu bara.
Asep bilang saat itu, “Nah dari uang (Rita Widyasari) tersebut kemudian mengalir ke beberapa orang, perusahaan. Di antaranya saudara TP (Tan Paulin). Makanya karena kami sedang menangani saudara RW (Rita Widyasari) ini TPPU-nya, kami mencari ke mana sih uang dari situ gitu, dari saudara RW, ya salah satunya ke TP.”
Dia menambahkan, KPK mengestimasi Rita menerima uang sekitar USD 3,3 hingga USD 5 untuk setiap metrik ton tambang batu bara dari perusahaan tambang.
Menurut Asep, dalam pemeriksaan, Tan Paulin ditanya terkait aliran uang tersebut, apakah ada perjanjian kerja atau jual beli barang.
Komentar dia, “Misalnya beli barang dari Bu TP (Tan Paulin). Nah uangnya dari sana kan. Itu yang kami konfirmasi termasuk ke beberapa orang termasuk bukan hanya Bu TP saja.”
Ironi, hingga kini KPK terkesan ‘menggantung’ keterlibatan Tan Paulin dalam kasus korupsi tersebut. Hal itu jelas terlihat di mata publik.
Salah satu ‘keistimewaan’ yang diberikan KPK kepada Tan Paulin adalah, KPK memeriksa Tan Paulin pada 29 Agustus 2024 di kantor BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Timur.
Menjadi pertanyaan adalah, kenapa KPK tidak memanggil Tan Paulin di Gedung KPK, Jakarta Selatan seperti kebanyakan orang-orang yang terlibat di kasus korupsi?
Pertanyaan lainnya, kenapa pemeriksaan dilakukan di kantor BPKP Jawa Timur? Kenapa lokasi pemeriksaan di Jawa Timur?
Adanya ‘perlakukan khusus’ kepada Tan Paulin sempat dibantah oleh Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 30 Agustus 2024.
Saat itu Tessa menegaskan bahwa KPK tidak tebang pilih dalam melakukan pemeriksaan para saksi.
Komentar dia kala itu, “Ya tidak ada yang tidak akan tersentuh oleh KPK bila memang alat buktinya ada, hanya tinggal masalah waktu saja.”
Namun hingga kini nama Tan Paulin seakan hilang ditelan bumi dalam kasus tersebut.
Kenapa KPK belum menindaklanjuti adanya keterlibatan Tan Paulin? Apakah KPK kekurangan barang bukti untuk menjerat Tan Paulin? Ada apa dengan KPK saat ini?
Perlu diketahui, nama Tan bukan kali saja disebut-sebut dalam dugaan praktik hitam bisnis batu bara.
Pada pada Januari 2016, nama Tan Paulin sempat menjadi sorotan dalam kasus dugaan penipuan investasi.
Hal itu, bermula dari gugatan Komisaris PT Energy Lestari Sentosa (ELS), Eunike Lenny Silas, terhadap H Abidinsyah, Donny Sugiarto, dan Tan Paulin, yang dijuluki sebagai tiga serangkai jaringan mafia tambang di Kalimantan Timur.
Kasus ini bermula dari tawaran investasi dari Donny Sugiarto Lauwani kepada Lenny Silas, yang akhirnya menggelontorkan dana investasi miliaran rupiah.
Guna menggaransi dana yang dikucurkan ini, Donny menawarkan sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Lenny Silas.
Namun ternyata Donny bukan pemilik IUP bahkan tidak mempunyai usaha tambang karena pemilik tambang sesungguhnya adalah H Abidinsyah.
Belakangan terkuak, H Abidinsyah, Donny Sugiarto Lauwani dan Tan Paulin merupakan tiga serangkai jaringan mafia tambang.
Abidinsyah yang juga pemilik tambang batubara PT Sungai Berlian Bhakti di Berau dan CV Sungai Berlian Jaya kemudian ditangkap Bareskrim Mabes Polri.
Sementara tersangka lainnya, Donny Sugiarto Lauwani, melarikan diri dan menjadi buron Interpol. Donny kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), Mabes Polri.
Sedangkan, Tan Paulin belum tersentuh jerat hukum, meski sudah dilaporkan ke Mabes Polri.
Atas kasus penipuan investasi tersebut, Eunike Lenny Silas mengaku mengalami kerugian sekitar Rp 500 miliar.
Belakangan pada Mei 2016, diketahui Tan Paulin balas menggugat Eunike Lenny Silas dalam kasus penipuan dan penggelapan batu bara.
Perlu diketahui, nama Tan Paulin sudah cukup akrab di tengah penduduk Kutai Kartanegara. Ia dijuluki ‘Ratu Batu Bara’, yang diduha menguasai jaringan tambang ilegal di sana.
Konon, para penambang ilegal di Kalimantan Timur diduga mengepul batu bara kepada Tan Paulin.
Kasua lain yang sempat menyeret nama Tan Paulin adalah sengketa lahan tambang batu bara pada 11 Maret 2022.
Kala itu ia dilaporkan ke Polda Kalimantan Timur oleh perusahaan bernama CV Anggaraksa.
Perusahaan itu menduga Tan Paulin melakukan penutupan jalan tambang batu bara di Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Penutusan akses jalan itu, versi CV Anggaraksa, karena Tan Paulin mengklaim memiliki sebagian lahan di lokasi tambang tersebut.
Berdasarkan klaimnya, dari 127 hektare konsesi tambang milik CV Anggaraksa, sebanyak 65 bidang petak lahan di antaranya di klaim milik Tan Paulin.
Berikutnya, pada 7 Maret 2023, nama Tan Paulin kembali muncul dalam kasus perjanjian alih muat batu bara.
Bahkan, nama mantan direksi dan karyawan PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI) juga ikut terseret.
Kasus itu bermula pada 2022, saat PT SLE milik Tan Paulin menyewa kapal floating crane barge Ben Glory milik PT IMC Pelita Logistik untuk proyek alih muat batu bara di perairan Muara Berau.
Perjanjian ini dituangkan dalam kontrak bernomor C/FLF/SLE/22-050 dan berlaku dari 1 September 2022 hingga 31 Agustus 2023.
Perjanjian itu diteken SLE melalui Denny Iryanto selaku direktur utama dan Tan Paulin selaku direktur, serta PT IMC melalui Iriawan Ibarat (terdakwa II) selaku direktur utama dan Harry Thjen (terdakwa III) selaku direktur komersial dan operasional.
Jaringan Perusahaan Tan Paulin
Tan Paulin dan suaminya Irwantono Sentosa, serta sang adik yang bernama Denny Iryanto tidak tanggung-tanggung ketika membangun bisnis batu bara mereka.
Melalui bendera SLS Group atau PT Sentosa Laju Sejahtera bisnis mereka Tan terus menggurita. SLS adalah perusahaan pertambangan dan kontraktor umum Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pertambangan mineral, batu bara, dan penggalian.
Situs resmi SLS menulis, SLS adalah anak perusahaan dari PT Sentosa Laju Energy (SLE), sebuah perusahaan perdagangan batu bara dengan volume perdagangan lebih dari delapan juta metrik ton per tahun.
Perusahaan itu juga melakukan operasional bersama (joint operation) untuk tambang nikel di Konawe Utara dengan Bosowa Group dengan luas area 201 hektare.
Tambang nikel itu memiliki cadangan bijih nikel sebesar lima juta ton dengan kadar rata-rata NI adalah 1,8 persen. Bentuk joint operation-nya adalah berbasis biaya.
Laman resmi perusahaan itu pun menulis, SLS didirikan pada 2021, dengan spesialisasi di bidang pertambangan batu bara dan mineral.
SLS juga memiliki dan mengoperasikan sejumlah tambang batu bara dan nikel yang tersebar terutama di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara.
SLS dibentuk karena pesatnya pertumbuhan kebutuhan batubara dan mineral di Indonesia.
SItus itu juga menulis, jika tidak ingin dikatakan mengklaim, bahwa SLS mmenjadi berusaha perusahaan pertambangan yang kredibel dan dapat dipercaya dengan konsep ENSEP (Environment, Safety, Engineering, and Productivity) terbaik di Indonesia.
Tulis laman tersebut, “Memastikan kepuasan para pemangku kepentingan dengan memberikan nilai tambah dalam setiap hubungan dan transaksi. Memanfaatkan potensi mineral dan batubara Indonesia untuk kemakmuran bangsa.”
SLE juga memiliki proyek di Pulau Kabaena, salah satu pulau di wilayah Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang juga bergerak di tambang nikel.
Nilai proyek di Kabaena ditaksir mencapai USD 72 juta, dengan cadangan nikel sekitar empat juta metrik ton.
Di satu sisi, bisnis SLS Group terbagi menjadi sejumlah bagian, seperti kontraktor, konstruksi, dan infratruktur. Kemudian, pertambangan batu bara.
Berikutnya, pertambangan kuari dan perdagangan serta pertambangan mineral dan perdagangan.
Ada sembilan perusahaan di bawah SLS Group yang bergerak di sektor kontraktor, konstruksi, dan infratruktur.
Perusahaan-perusahaan itu adalah, PT Abyakta Kirana Mahakam (coal loading terminal), PT Artha Satya Karunia (trucking and logistic), dan PT Dermaga Anugerah Bersama (coal loading terminal).
Kemudian, PT Fath Jaya Utama (coal loading terminal), PT Isna Agung Permata (offshore floating terminal), PT Karunia Aman Sentosa (tug and barge), PT Sasmaka Lestari Karya (mining contractor), PT Sentosa Welindo Group (EPC and interior), dan PT Traktor Teknik Nusantara (dealership and spareparts).
Sedangkan untuk perusahaan yang bergerak di pertambangan batu bara, SLS Group memiliki enam perusahaan, yaitu PT Andrea Multi Energy, PT Bumi Barito, PT Berau Jaya Energy, PT Mahakam Multi Lestari, PT Tuah Globe Mining, dan PT Tawabu Mineral Resource.
Sementara untuk pertambangan kuari dan perdagangan, SLS Group hanya memiliki satu perusahaan bernama PT Sentosa Laju Bersama.
Begitu pun di sektor pertambangan mineral dan perdagangan. SLS Group hanya menggunakan bendera bernama PT Sentosa Laju Mineral.
(Red)