ABC NEWS – Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta menjerat Wilmar Group dengan tindak pidana korporasi, terutama kaitannya dengan kasus suap hakim senilai Rp 60 miliar.
Apalagi Kejagung telah menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan terhadap Head of Social Security Legal Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).
Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/4).
Kata Yusri, “Kami menduga MSY ini sudah kerap kali melakukan praktik suap menyuap untuk mengamankan masalah-masalah hukum perusahaan tempat ia bekerja.”
Yusri bilang, “Salah satunya terungkap saat saya menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR pada 27 Maret 2025 terkait masalah penyerobotan lahan oleh anak usaha Wilmar di Kalimantan Barat.”
Penjelasan Yusri, saat RDPU tersebut, I Wayan Aditya yang merupakan kuasa korban penyerobotan lahan tersebut, mengungkapkan di hadapan Komisi III DPR bahwa awalnya ia pernah ditawari uang Rp 15 miliar oleh MSY agar berhenti memperjuangkan hak korban penyerobotan lahan tersebut.
Wayan adalah seorang purnawirawan TNI berpangkat kolonel yang terakhir dinas sebagai dosen di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seko AD) di Bandung, Jawa Barat.
Yusri menambahkan, tawaran suap itu dilakukan MSY pada Oktober 2023 di TIS Square Tebet, Jakarta Selatan sekitar pukul 17.00 WIB.
Komentar Yusri, “MSY ketika itu diteman seorang stafnya. Wayan juga hadir dengan seorang temannya yang mempertemukannya dengan MSY.”
Dia melanjutkan, “Pak Wayan menolaknya. Mendengar penolakan itu, MSY menaikkan tawaran suap menjadi Rp 20 miliar. Mendengar hal itu, Pak Wayan sempat menggebrak meja dan menolak mentah-mentah tawaran suap dari MSY itu.”
Tidak hanya itu, imbuh Yusri, MSY diduga juga pernah melakukan penyuapan dengan seorang tenaga teknologi informasi (IT) yang pernah diperbantukan di KPK berinisial Mr G.
“Mr G ini punya keahlian melacak rekening pejabat di luar negeri. Katanya Mr G juga suka berkomunikasi dengan Presiden Jokowi saat itu,” jelas Yusri.
Awalnya, ucap Yusri mengutip keterangan Wayan dalam RDPU,Mr G pada 2016 sempat membantu korban penyerobotan lahan itu untuk mendapatkan haknya melalui hubungan dekatnya dengan Presiden Jokowi.
Menurut keterangan Wayan, terang Yusri, Mr G juga diduga kuat telah disuap oleh MSY sebesar Rp 17 miliar.
Setelah kejadian itu kabarnya Mr G menghilang dan enggan menemui keluarga ahli waris korban penyerobotan lahan itu, setelah sebelumnya sempat dipergoki oleh Wayah di salah kafe di wilayah Depok milik Mr G.
Tegas Yusri, “Kita bisa bayangkan, untuk satu kasus penyerobotan lahan ini saja, sudah berlangsung 23 tahun, korban sudah mengadu kemana-mana, bahkan sampai ke Presiden Jokowi.”
“Namun anehnya, Wilmar bergeming dan seolah kebal hukum. Kita mulai curiga, jangan-jangan ini memang karena kelihaian MSY ini?” kata Yusri.
Kejagung, lanjut Yusri, diharapkan mendalami peran MSY dalam seluruh permasalahan hukum yang melibatkan Wilmar Group dan anak usahanya.
Lantang Yusri berkata, “Apakah mungkin ini inisiatif MSY sendiri saja? Kalau nilai suap itu satu atau dua juta mungkin masih masuk akal itu adalah ide MSY sendiri. Tapi kalau jumlah suap sudah puluhan miliar, apakah tidak mungkin itu memang perintah korporasi Wilmar Group?”
Seperti diketahui, MSY ditangkap karena memberikan suap ke hakim untuk mengondisikan putusan onslag terhadap tiga terdakwa korporasi dalam perkara ekspor ilegal crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah.
MSY ditahan selama 20 hari sejak 15 April hingga 5 Mei 2025. Ia disebut menyiapkan dana suap yang kemudian diserahkan kepada pengacara korporasi, Ariyanto (AR), diteruskan ke Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), hingga akhirnya sampai ke Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN). .
Uang suap itu diduga juga mengalir ke majelis hakim yang menangani perkara, yakni DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).
Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka dalam perkara tersebut, terdiri dari lima pihak pengadilan sebagai penerima dan tiga pihak berperkara sebagai pemberi.
(Red)