ABC NEWS – Salah seorang terdakwa kasus korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk periode 2015–2022, Suparta, meninggal dunia.
Suparta sebelumnya adalah direktur utama PT Refined Bangka Tin (RBT).
Dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar membenarhal hal tersebut.
Kata dia, Senin (18/4), “Benar (meninggal dunia) atas nama Suparta pada hari Senin tanggal 28 April 2025 sekitar pukul 18.05 WIB di RSUD Cibinong Bogor.”
Penjelasan Harli, almarhum Suparta wafat ketika menjalani masa penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Cibinong Bogor.
Namun, Harli belum bisa menjelaskan soal penyebab meninggalnya Suparta.
Dia hanya bilang, “Belum ada informasi mengenai penyebab meninggalnya. Mungkin sakit.”
Sekedar informasi, Suparta terbukti menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima.
Suparta kemudian dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun, denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp 4,57 triliun subsider enam tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Namun, pada Februari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis pidana penjara yang bersangkutan menjadi 19 tahun setelah menerima permintaan banding dari penuntut umum dan Suparta selaku terdakwa dalam kasus tersebut.
Terkait pidana denda, hukuman terhadap Suparta tetap sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Sementara pada pidana tambahan, Majelis Hakim menetapkan uang pengganti yang dibayarkan Suparta tetap sebesar Rp 4,57 triliun.
Tetapi hukuman pengganti apabila Suparta tidak membayarkan uang pengganti tersebut diperberat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 10 tahun penjara.
Siapa Menanggung Kerugian?
Di sisi lain, meninggalnya Suparta masih menyisakan tanda tanya besar, yakni siapa yang kemudian akan mengganti uang kerugian negara Rp 4,57 triliun tersebut?
Perlu diketahui, pasal 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2023 menjelaskan soal kewenangan penuntutan pidana dinyatakan gugur jika satu dan lain hal.
Misalnya, ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama.
Kemudian, tersangka atau terdakwa meninggal, dan kedaluwarsa. Berarti, ahli waris terpidana tidak perlu menanggung pidana yang belum dijalani oleh almarhum.
Namun, pasal 33 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerangkan ada norma hukum yang berbunyi, “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Selanjutnya pasal 833 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) terdapat norma hukum yang menerangkan, “ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang dari si pewaris”.
Adapun bunyi pasal 833 KUHPer adalah, “Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal”.
Secara normatif, jika ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti tersebut di atas, maka hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan itu ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan pengadilan.
(Red)