ABC NEWS – Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung menggeledah kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM dibandingkan SKK Migas terlebih dahulu dalam dugaan kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 dipertanyakan publik.
Salah satu pihak yang mempertanyakan itu adalah lembaga nirlaba Center of Energy and Resources Indonesia (CERI).
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman dalam keterangan tertulis yang dikirim ke redaksi ABCNEWS.co.id, Rabu (12/2), berkata, “Langkah Kejagung kemarin langsung menggeledah Ditjen Migas tanpa menggeledah SKK Migas patut dipertanyakan apa pertimbangannya.”
Yusri bilang, “Kalau alasannya untuk mencari atau menambah alat bukti agar peristiwa pidana itu terang benderang, sekali lagi saya katakan salah alamat.”
Yusri lalu menjelaskan bahwa soal kewajiban KKKS menawarkan hak prioritas minyak mentah dan kondensat bagian negara (MMKBN) ke kilang milik Pertamina itu berdasarkan Permen ESDM 18 Tahun 2021.
Komentar Yusri, “Sementara SKK Migas memberi kuasa menjual MMKBN ke KKKS beralaskan PTK 06 Tahun 2017.”
Perlu diketahui, PTK 06 Tahun 2017 adalah regulasi yang mengatur penunjukan penjual dan penjualan minyak mentah dan/atau kondensat bagian negara. PTK ini juga mengatur kerja lifting minyak mentah dan/atau kondensat dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Yusri kembali berkata, “Lagipula, posisi Ditjen Migas dalam tata kelola MMKBN itu berada di hilir, yaitu hanya melaksanakan apa hasil kesepakatan antara KKKS dengan Pertamina.”
Menurut Yusri, jika alasan Pertamina menolak MMKBN karena secara komersial tidak memberikan margin kepada kilang atau tidak sesuai dengan program kilang dalam memproduksi jenis BBM, maka Ditjen Migas atas persetujuan menteri ESDM harus menerbitkan rekomendasi ekspor ke Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdangangan untuk menerbitkan izin ekspor. Jika tidak maka akan menggaggu lifting KKKS tersebut karena terjadi toptank.
Yusri menegaskan, “Jika baru belakangan Kejagung baru akan menggeledah, maka langkah itu terlambat karena sudah diantisipasi oleh SKK Migas, dan Kejagung tidak akan dapat alat bukti yang bisa membuat semakin terangnya peristiwa pidana tersebut.”
“Jadi kami menilai Kejagung telah salah strategi dan bisa gagal mengungkap dugaan kasus korupsi penjualan MMKBN di KKKS selama ini,” imbuh dia.
Yusri pun meminta pihak Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) dan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin) untuk memeriksa Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung untuk mempertanggungjawabkan kegiatan penggeledahan di Ditjen Migas tanpa menggeledah SKK Migas.
Yusri kembali menerangkan, terungkap keanehan terkait aturan Pedoman Tata Kerja (PTK) SKK Migas Nomor 065/2017 yang bisa mengeliminir aturan yang lebih tinggi di atasnya.
Aturan yang lebih tinggi itu adalah SK Menteri ESDM Nomor 5543/13/MEM.M/2014 tanggal 1 September 2014 tentang Penunjukan PT Pertamina (Persero) untuk mengelola seluruh MMKBN.
Regulasi itu lalu diperkuat oleh Surat Keputusan (SK) Kepala SKK Migas Nomor Kep 0131/2015 tanggal 13 Agustus 2015 tentang Penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai penjual seluruh MMKBN.
Lalu semakin dikuatkan dengan adanya surat perjanjian penunjukan penjual seluruh MMKBN antara SKK Migas dengan Pertamina pada 18 September 2015.
Tegas Yusri, “Jadi, jika ditinjau dari perspektif hirarki peraturan perundang-undang, maka PTK 065/2017 dapat diklasifikasi cacat hukum, sehingga patut diduga kuasa yang telah diberikan oleh SkK Migas ke KKKS selama ini untuk menjual MMKBN adalah tindakan ilegal.”
(Red)